Tampilkan postingan dengan label Imam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Imam. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2019

Nasihat Imam Ghozali





*MENGENAL BEBERAPA NASEHAT IMAM GHOZALI KEPADA ANAKNYA*

*1. Wahai anakku*, tuntutlah ilmu sebanyak mungkin, agar engkau dapat mengamalkan dan memberi manfaat untuk dirimu, serta dapat mengajar, menunjukkan dan mengajak umat manusia dalam mengamalkan ilmu tersebut. Belajarlah engkau agar dapat memperdalam ilmumu dengan jalan mengambil pelajaran dari hidup dan kehidupanmu serta mendapatkan jalan keluar dalam menempuh kehidupan duniawi dan ukhrawi. Janganlah engkau menpelajari suatu ilmu tetapi ilmu itu akan mencelakai dirimu dan jangan sampai ilmu tersebut menjadi pengikat atau pencegah gerak langkahmu dalam berpijak, ini karena piciknya pikiranmu dalam mengartikan ilmu yang akhirnya ilmu yang engkau miliki dapat menjadi jurang pemisah antara kehidupan dan hati nuranimu.

*2. Wahai anakku*, orang yang ’alim patut menjadi uswah (teladan) bagi umat manusia dalam bekerja (mencari harta), karena dia lebih mengerti cara mencari dan menafkahkan hartanya kejalan yang halal. Dan  juga memiliki nur ilmu yang akan memberi petunjuk kepada kita dikala jual beli, utang piutang, bercocok tanam, berdagang dan menginfakkan hartanya.

*3. Wahai anakku*, bukan perbuatan hina apabila seorang pelajar bercocok tanam atau membantu orang tuanya bercocok tanam. Sesungguhnya perbuatan hina itu ialah: apabila hanya mengejar-ngejar infak dan sedekah serta menggantungkan diri kepada belas kasihan orang lain atau hanya selalu menantikan sisa makanan dari orang lain.

*4. Wahai anakku*, sesungguhnya Rasullallah saw. pernah menggembalakan kambing sebelum diutus menjadi nabi, kemudian beliau berdagang sampai beliau diutus menjadi Nabi dan beliau tidak pernah meninggalkan usaha untuk hidup serta kehidupannya, yang akhirnya rezki beliau datang dari hasil ghonimah (rampasan perang) sebagaimana Imam Ahmad, Bukhari dan lainya meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw. beliau telah bersabda: “Allah tidak mengutus seseorang Nabi, kecuali dengan mengembalakan kambing terlebih dahulu.” para sahabat mengajukan pertanyaan “apakah engkau juga demikian wahai Rasullallah? “Ya, aku mengembala kambing di ladang sebelah sana, milik penduduk makkah.” Berdagangpun telah di lakukan dalam kehidupan Rasullallah saw. Adapun hadist-hadist shahih yang menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi saw. Bekerja sama dengan Khatijah untuk berdagang sebelum beliau di utus menjadi Nabi. Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Aku di utus dengan mengangkat pedang (berperang) di zaman akhir, sampai Allah saja yang diabadi, tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya. Dan rezkiku datang dari bawah anak tombak”.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, juga seorang saudagar dari saudagar yang besar dan pekerjaan inipun berhenti setelah menjadi khalifah pertama. Demikian juga para shahabat Nabi yang lain dan para tabi’in serta para “Salafus Shalih”, selalu bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Dien yang mereka miliki tidaklah mencegah dirinya dari pergaulan dengan umat manusia dalam usaha mencari rezeki yang halal, tetapi mereka bahkan menjadi teladan didalam cara bekerja.

*5. Wahai anakku*, sesungguhnya engkau akan mengetahui banyak ilmu syara’ dalam ajaran islam, baik itu masalah jual beli, gadai, sewa menyewa, berdagang, bercocok tanam dan sebagainya. Karena itu beramallah sesuai dengan ilmu yang telah engkau miliki dan ajarkan umat manusia, sehinga  Allah swt. akan melipatgandakan pahalamu dalam beramal dan menyebar luaskan ilmu.

*6. Wahai anakku*, janganlah engkau berpendapat seperti orang-orang yang bodoh yang mengatakan bahwa tawakal (berserah diri kepada allah) ialah dengan meninggalkan usaha (bekerja) dan berserah begitu saja kepada takdir (ketentuan Allah). Sesungguhnya seorang petani yang bercocok tanam di sawah pada waktu siang dan malam merupakan contoh petani yang bertawakal kepada Allah, asalkan niatnya baik dan benar. Petani itu menerbahkan benih di sawah ladangnya, memelihara dengan baik dan setelah itu berhasil atau tidaknya dalam bertani diserahkan sepenuhnya kepada Rabbnya, kalau kiranya Allah menghendaki tentu akan tumbuh semi yang baik sehingga sehingga membawa hasil tujuh ratus kali lipat dari benih aslinya dan apabila Allah menghendaki tidak tumbuh, maka sama sekali tidak akan membawa hasil. itulah sebaik-baik tawakal yang tidak sertai kesedihan dan kebencian apabila tidak berhasil seperti yang kita harapkan.

*7.Wahai anakku*, zuhud (tidak terikat pada dunia) bukan berarti meninggalkan usaha (bekerja), tetapi zuhud ialah menghindarkan diri dari harta keduniawian di dalam diri. Apabila engkau bekerja sesuai hajat kebutuhan hidupmu dan memberi peretlongan kepada orang-orang yang lemah, serta bersedekah kepada orang-orang fakir dan engkau tidak berkeinginan untuk memupuk harta kekayaan kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah, digunakan untuk beribadah keada-Nya. *Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaiamna Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)*










Kamis, 20 September 2018

Imam Malik vs Imam Syafi'i : Beda Pendapat

IMAM MALIK
VS
IMAM SYAFI'I




*_"Guru Dan Murid Tertawa Karena Beda Pendapat ttg REZEKI_*
.
Imam Malik ( guru Imam Syafii ) dalam majlis menyampaikan :

*Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan meberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya.*
.
Sementara Imam Syafii ( sang murid berpendapat lain) :

*Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki.*

*_Guru dan murid bersikukuh pada pada pendapatnya._*
.
Suatu saat tengah meninggalkan pondok, Imam Syafii melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Diapun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.

*Imam Syafii girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapat rezeki. Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur.*
.
Bergegas dia menjumpai Imam Malik sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita. . Imam Syafii sedikit mengeraskan bagian kalimat  *“seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”*
.
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan.
*“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok...hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur.* ......Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. *Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”*
.
Guru dan murid itu kemudian tertawa. Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama.
Begitulah cara Ulama bila melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja..

Semoga dapat menjadi pelajaran buat kita semua..