Tampilkan postingan dengan label Gus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gus. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Oktober 2018

Gus Nadir : Bendera Rasul / Rayah Rasul


Gus Nadir: Bendera ISIS dan HTI bukan Bendera Islam, bukan Bendera Rasul!

ISIS dan HTI sama-sama mengklaim bendera dan panji yang mereka miliki adalah sesuai dengan Liwa dan rayah-nya Rasulullah. Benarkah? enggak! Kalau klaim mereka benar, kenapa bendera ISIS dan HTI berbeda design dan khat tulisan arabnya? Ayoooo 🙂
Secara umum hadits-hadits yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas shahih. Riwayatnya pun berbeda-beda: ada yang bilang hitam saja, ada yang bilang putih saja, ada riwayat yang bilang hitam dan putih, malah ada yang bilang merah dan juga kuning. Riwayat lain bendera itu gak ada tulisan apa-apa. Jadi gak ada tulisan tauhidnya, cuma kosong saja. Riwayat lain bilang ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian. Secara umum tidak berkualitas sahih.
Dalam sejarah Islam juga kita temukan fakta yang berbeda lagi. Ada yang bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai hitam, dan pernah juga berwarna putih. Apa mau bilang para Khalifah ini tidak mengikuti bendera Rasul? Ribet kan!
Jadi yang mana bendera khilafah? Yah tergantung anda mau merujuk ke Khilafah Umayyah atau Abbasiyah? Gak ada hal yang baku soal bendera ini. Coba saja buka kitab Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Mawardi: apa ada pembahasan soal bendera negara Khilafah? Enggak ada! Kenapa yang gak ada terus mau diada-adakan seolah menjadi urusan syariat? Mau bilang Imam al-Mawardi gak paham soal ini? Nah, tambah ribet kan!
Konteks bendera dan panji dipakai Rasul itu sewaktu perang untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah, emangnya kalian mau perang terus? Kok kemana-mana mengibarkan bendera perang?
Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera merah putih. Masak ada negara dalam negara?! Ini namanya makar! Bahkan ada tokoh HTI yang mempertanyakan apa ada haditsnya bendera RI yang berwarna merah-putih? Nah kan, kelihatan makarnya, sudah mereka tidak mau menerima Pancasila dan UID 1945, sekarang mereka juga menolak bendera merah-putih. Jadi, yang syar’i itu bendera HTI, begitu maunya mereka, padahal urusan bendera ini bukan urusan syari’at.
Sekarang bagaimana status hadits soal bendera ini? Kita bahas singkat saja biar gak makin ribet membacanya.
Hadits riwayat Thabrani dan Abu Syeikh yang bilang bendera Rasul hitam dan panjinya putih itu dhaif. Mengapa demikian? Riwayat Thabrani ini dhaif karena ada rawi yang dianggap pembohong yaitu Ahmad bin Risydin. Bahkan kata Imam Dzahabi, dia pemalsu hadits.
Riwayat Abu Syeikh dari Abu Hurairah itu dhaif karena kata Imam Bukhari rawi yang namanya Muhammad bin Abi Humaid itu munkar.
Riwayat Abu Syeikh dari Ibn Abbas menurut Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, sanadnya lemah sekali.
‎وجنح الترمذي إلى التفرقة فترجم بالألوية وأورد حديث جابر ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة ولواؤه أبيض ” ثم ترجم للرايات وأورد حديث البراء ” أن راية رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت سوداء مربعة من نمرة ” وحديث ابن عباس ” كانت رايته سوداء ولواؤه أبيض ” أخرجه الترمذي وابن ماجه ، وأخرج الحديث أبو داود ، والنسائي أيضا ، ومثله لابن عدي من حديث أبي هريرة ، ولأبي يعلى من حديث بريدة ، وروى أبو داود من طريق سماك عن رجل من قومه عن آخر منهم ” رأيت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم صفراء ” ويجمع بينها باختلاف الأوقات ، وروى أبو يعلى عن أنس رفعه ” أن الله أكرم أمتي بالألوية ” إسناده ضعيف ، ولأبي الشيخ من حديث ابن عباس ” كان مكتوبا على رايته : لا إله إلا الله محمد رسول الله ” وسنده واه
Kalau sudah Ibn Hajar yang komentar soal hadits, HTI dan ISIS mau ngeles apa lagi? Jangan marah sama saya, saya hanya mengutip pendapat Ibn Hajar yang otoritasnya dalam ilmu Hadits sangat diakui dalam dunia Islam. Kalau ada ulama yg menyatakan hadits Abu Syeikh ini sahih, ya silakan saja. Saya lebih percaya dengan Ibn Hajar daripada dengan ulama HTI.
Komentar Ibn Hajar di atas itu telak sekali. Semoga ini membuka mata para kader HTI, yang sudah dibubarkan pemerintah itu. Bendera HTI dan juga ISIS tidak memliki landasan yang kuat. Tidak ada perintah Rasulullah untuk kita mengangkat bendera semacam itu; tidak ada kesepakatan mengenai warnanya, dan apa ada tulisan atau kosong saja, dan tidak ada kesepakatan dalam praktek khilafah jaman dulu, serta para ahli Hadits seperti Ibn Hajar menganggap riwayatnya tidak sahih.
Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu berbeda dengan di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul, tulisan al-Qur’an belum ada titik, dan khatnya masih pra Islam yaitu khat kufi. Makanya meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kenapa ayo? Kan sama-sama mengklaim bendera Islam? Itu karena tulisan khat-nya rekaan mereka saja. Gak ada contoh yang otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits-hadits yang tidak sahih
Jadi jangan mau dibohongin yah sama bendera Islam-nya HTI dan ISIS.
Perkara ini bukan masuk kategori syari’ah yg harus ditaati. Gak usah ragu menurunkan bendera HTI dan ISIS. Itu bukan bendera Islam, bukan bendera Tauhid.
Tapi ada tulisan tauhidnya? Masak kita alergi dengan kalimat tauhid? Itu hanya akal-akalan mereka saja. Untuk mengujinya gampang saja, kenapa HTI gak mau mengangkat bendera ISIS dan kenapa orang ISIS tidak mau mengibarkan bendera HTI padahal sama-sama ada kalimat Tauhid-nya? Itu karena sifat sebuah bendera di masa modern ini sudah merupakan ciri khas perangkat dan simbol negara. Misalnya warga Indonesia tidak mau mengangkat bendera Belanda atau lainnya. Bukan karena benci dengan pilihan warna bendera mereka, tapi karena itu bukan bendera negara kita.
Bendera itu merupakan ciri khas sebuah negara. Apa HTI dan ISIS mau mengangkat bendera berisikan kalimat Tauhid yang khat dan layout-nya berbeda dengan ciri khas milik mereka? Atau angkat saja deh bendera Arab Saudi yang juga ada kalimat Tauhidnya. Gimana? Gak bakalan mau kan. Karena bendera sudah menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI.
Itu sebabnya Habib Luthfi bin Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal bendera ini.
Saya ikut pendapatnya Imam Ibn Hajar dan ikut sikap Habib Luthfi.
Tabik,

https://bangkitmedia.com/gus-nadir-bendera-isis-dan-hti-bukan-bendera-islam-bukan-bendera-rasul/  

Jumat, 24 Agustus 2018

Al-Zastrouw : Kesabaran dan Doa



Muhasabah Kebangsaan:
KESABARAN DAN DO'A
Al-Zastrouw

Akhir-akhir ini makin marak tudingan kafir, musyrik, munafiq, dan berbagai caci maki keji lainnya ditujukan kepada sesama muslim, hanya karena beda pilihan politik dalam pilkada.

Anehnya tudingan tsb dilakukan oleh orang2 yg selalu menaggembar gemborkan ukhuwah Islamiyah, persatuan sesama muslim dan mengaku pembela agama.

Tapi anehnya, org2 yg menerima tuduhan keji dan caci maki itu tetap diam dan tidak membalas dengan caci maki atau menggalang massa padahal sebenarnya mereka bisa melakukan itu dan menggunakan ayat2 suci untuk membuat counter gerakan.

Paling-paling mereka hanya membalas dengan menunjuk bbrp ayat dan tafsir serta pemikiran ulama yg menjadi dasar mereka bersikap beda dengan org2 yg menuduh kafir dan munafiq itu.

Meski sudah dijelaskan ayat dan tafsirnya namun kelompok caci maki itu belum puas. Mereka tetap merasa bahwa pikiran dan tafsir agamanya yg paling benar.

Jangankan menerima perbedaan tafsir, mrk justru membuat serangan yg lebih gencar dan dahsyat lagi.  Bahkan kaum benar sendiri ini tidak segan2 menghujat dan menista ulama2 yg menjadi panutan  org2 yg mereka dituduh kafir dan munafiq itu.

Para ulama ini di tuduh sebagai ulama bayaran, ulama suu', ulama bodoh, tdk panya kapasitas. Seolah2 ulama2 ini lebih bodoh dari penceramah di TV yg hanya pandai merangkai kata dan mengutip terjemahan ayat yg kemudian mereka anggap sbg ulama.

Akibatnya mereka semakin dahsyat mengeksplotir ayat, bahkan tega melakukan intimidasi pd sesama dengan menggunakan simbol agama.

Diam2 aku merasa  kagum dan semakin hormat pada mereka2 yg menerima tuduhan keji tersebut.

Biar dituduh kafir, munafiq dan penjual iman tapi saya belum pernah melihat mereka membalas dengan tuduhan yg sama  kepeda org2 yg telah menistanya.

Kalau demikian sy jd berpikir siapa yg sebenarnya tdk menjaga ukhuwah Islamiyah, siapa yg memecah belah ummat?

Mereka yg menuding sesama muslim dg tuduhan kafir itu, atau mereka yg tetap sabar menerima hujatan dan tuduhan nista demi keutuhan ummat?

Memang tidak mudah menjaga keberagaman dan persaudaraan di tengah tarikan kepentingan politik.

Memang tidak mudah bersikap sabar menghadapi berbagai tudingan kafir dan penistaan serta fitnah keji yg dilakukan oleh saudara sendiri.

Tapi itu harus dilakukan demi menjaga keutuhan ummat dan negeri ini. Dan saya yakin keihlasan saudara2ku ini akan menjadi benteng yg kokoh unt menghadapi fitnah dan tuduhan keji ini sehingga mereka tdk mudah hanyut dan larut dalam  susana yg penuh ketegangan ini.

Saya berharap saudara2ku yg menerima tuduhan keji ini tetep bersikap baik dan  mendoakan mereka dengan doa yg baik.

Jangan doakan org yg telah menudingmu kafir dan munafik itu menjadi org yg celaka, susah rejekinya, masuk ke neraka, dicoba dg berbagai kesulitan, diazab Allah di dunia dan akherat dan berbagai doa buruk lainnya.

Doakanlah mereka agar terbuka pikirannya sehingga bisa menerima perbedaan dg lapang dada agar tidak mudah mengkafirkan sesama.

Doakanlah mereka agar tdk terjebak dalam kesombongan iman yg membuat  mereka lupa diri,  riya' dan sombong

Saya yakin jika saudara2ku yg dinista dengan tuduhan kafir, munafiq dan berbagai caci maki yg keji ini bisa tetap sabar dan ikhlas, maka keutuhan bangsa ini akan tetap terjaga,. Keberagaman akan terlindungi, bangsa dan negara NKRI akan lestari dan Islam rahmah yg penuh dg akhlakul karimah akan terujud di sini.

Akhirnya saya hanya mampu berdoa semoga ketabahan dan keikhlasan saudaraku2 dalam menghadapi caci maki dan tuduhan keji ini bisa menjadi amal shaleh yg akan membawa ke surga

Kesejukan dan Kedamaian selalu kurindu


🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏




Kamis, 23 Agustus 2018

Gus Ajir Ubaidillah : Pesan Welasan


PESAN DI BALIK SEWELASAN
@ajir_ubaidillah
.
Salah satu tradisi yang berlangsung turun temurun dilakukan muslimin ahlis sunnah wal jamaah adalah pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qodir Al-Jilani di setiap malam sebelas hijriyyah. Di kampung saya tradisi ini familiar dengan istilah SEWELASAN, para habaib biasa menyebutnya IHDA ‘ASYARIAH.
.
Tercatat dalam manaqib, Beliau wafat pada tanggal 11 Rabius Tsani pada usia ke 91. Barangkali inilah yang menjadi acuan pembacaan manaqib Beliau di setiap malam ke-11.
.
Kata manaqib sendiri adalah bentuk jama dari manqobah yang berarti perbuatan mulia seseorang, karena lazimnya manaqib memang berisikan biografi kebaikan orang sholeh.  
.
Perlu difahami, manaqib merupakan sebuah tradisi maka sejatinya RASULULLAH ﷺ tidak pernah menyebutkan secara eksplisit kata ini. Akan tetapi jangan lupa bahwa ALLAH ﷻ berkali-kali menceritakan kisah orang sholeh terdahulu seperti Luqman Hakim, Sayyidah Maryam, Ashabul Kahfi dan sholihin lainnya. Begitupun RASULULLAH  ﷺ banyak menceritakan sejarah orang sholeh seperti Sayyidah Asiah istri Fir'aun, Juraij sang Rahib dari Bani Israil, dan lainnya.
.
Para ulama’ sendiri memberikan perhatian besar untuk mengisahkan keutamaan kaum solihin. Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata,
.
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَتَنَزَّلُ الرَّحْمَةُ
.
“Ketika kaum solihin disebut, maka turunlah rahmat” (lihat Kitab At-Tamhid Juz 17 Hal 429)
.
Semua itu menunjukkan bahwa menceritakan kehidupan kaum solihin bukanlah sesuatu yang bertentangan bahkan sangat dianjurkan dengan tujuan yang jelas yaitu agar kita dapat mengambil pelajaran dari mereka. Sebagaimana firman ALLAH ﷻ,
.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Surah Yusuf ayat 111)
.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk segenap pembacanya sehingga kita lebih bijak dalam memahami dan mengomentari sebuah tradisi.
.
📸 acara ihda asyariah Ma'had @pon_pes_sunniyah_salafiyah
.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1984608785162812&substory_index=0&id=1598235013800193
.
#manaqib #inspirasiislam #sunsal #salaf #tentangdakwahkita #edukasi







Selasa, 14 Agustus 2018

Gus Miek (K.H. Hamim Djazuli Ploso)

FITNAH NU HANYA SEUMUR JAGUNG

Gus Miek ke Gus Dur: Jenengan Itu Paku Bumi NU. Sepeninggal Sampean, NU Kena Fitnah

Ternyata benar dawuh Gus Miek yang mengatakan jika Gus Dur itu adalah paku buminya NU. Buktinya, sewaktu Gus Dur masih hidup, tidak ada yang berani menganggu NU dan memfitnah NU.

Bila Gus Dur menunjuk batang hidung seseorang dengan sebutan "pengacau", maka orang itu tidak akan berani melanjutkan aksi ngacaunya. Di masa beliau, NU berhasil menempatkan dakwah Islam yang murni
rahmatan lil'alamin tanpa tindakan destruktif, apalagi anarkhis.

Pada tahun 1992, kala masih memimpin NU, Gus Dur melakukan show of power NU menghadapi tekanan rezim Orde Baru ketika itu. Gus Dur mengadakan Rapat Akbar Nasional NU di Parkiran sebelah Timur Senayan. Rapat akbar NU itu diperkirakan dihadiri ratusan ribu bahkan jutaan warga nahdliyyin dari seluruh tanah air.

Barisan ulama yang hadir antara lain KH. Kholil Bisri, KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Muslim Rifa'I Imam Puro, KH. Abdullah Faqih, KH. Abdullah Abbas dan lain-lain. Bahkan dari pesantren Buntet konon ikut mengirim ribuan jin ke acara itu. Makanya di tengah-tengah lapangan terlihat ada arena yang sengaja dikosongkan. Di situlah konon jama'ah jin dari Buntet berkumpul.

Itulah unjuk kekuatan NU terbesar sepanjang massa. Tidak ada satupun organisasi massa yang sanggup menghimpun jama'ah begitu banyak dalam satu acara selain NU.
Gus Miek pernah berkata kepada Gus Dur saat berada di beranda langgar area makam auliya Tambak, "Gus, sampean itu paku buminya NU. Kelak sepeninggal sampean, NU bakal kena fitnah," kata Gus Miek. "Kenapa bisa begitu Gus, apakah sudah tidak ada lagi para masyayikh yang menjaga NU?" tanya Gus Dur. "Bukan karena itu, tapi itu disebabkan dunia sudah ada di atas kepala warga NU dan banyak orang bodoh yang mencabik NU," jawab Gus Miek.

Kemudian kedua tokoh besar NU berdoa dengan khusyu' sambil sesekali sesenggukkan menahan tangis. Selesai berdo'a, wajah Gus Miek sumringah sambil mengatakan: "fitnah itu hanya seumur jagung". Mendengar itu Gus Dur tertawa lepas.Semoga Allah merahmati keduanya.








Jumat, 10 Agustus 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Tentang Santri



 BANYAK orang mengira, kiai besar seperti K.H A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ini pasti memiliki santri yang jumlahnya ribuan. Apa lagi dibandingkan dengan pesantren tertentu yang jumlah pendaftar setiap tahunnya saja sudah berjubel, apalagi ditambah dengan santri lama.
Belum lagi bila digabungkan antara santi putra dan putri. Jumlahnya bisa puluhan ribu. Namun gambaran pesantren yang besar dan modern dengan ribuan santri segera sirna begitu kita datang ke Desa Leteh, Rembang, lokasi pesantren Raudhatut Thalibin pimpinan Gus Mus. Pesantrennya relatif kecil dan santrinya tidak banyak. Aktivitas santri hanya mengaji dan mengaji.
Dari satu kitab ke kitab yang lain. Tidak ada sekolah formal, yang ada hanya madrasah pondok. Tak ada gapura penanda atau pagar keliling karena lokasi pesantren menyatu dengan rumah warga.
Orang yang baru mengenal Gus Mus lewat media sosial dan dari mulut ke mulut, tentu akan kaget melihat fakta ini. Anehnya, sekalipun kelewat sederhana, ada saja orang tua yang ''tega'' memondokkan anaknya di pesantren ini. Termasuk anak-anak yang tidak paham bahasa Jawa, seperti santri dari Madura, Jakarta, dan luar Jawa.
Ada yang lebih aneh lagi. Lazimnya, orang datang ke pesantren untuk menitipkan anak kepada kiai agar diterima dan dididik di pondok. Namun, orang yang satu ini tidak. Ia memondokkan mobilnya di pesantren. Ceritanya begini. Suatu hari, ada seseorang dari ibu kota datang ke rumah Gus Mus.
Setelah basa-basi sebentar, sang empunya mobil matur kepada Gus Mus, ''mobil ini saya serahkan kepada Gus Mus, dan ini kuncinya.'' Gus Mus kaget dan menggertak balik tanya: ''sampeyan ini siapa?, utusannya siapa? Mobil ini maksudnya untuk apa?'' Kebetulan waktu itu, menjelang Pilgub. Yang bersangkutan takut dan kaget dengan reaksi Gus Mus.
Gus Mus duko. Lalu ia jelaskan maksudnya. ''Mohon maaf Gus. Mohon jangan salah paham. Saya hanya ingin mondokkan mobil di pesantren ini. Ini mobil saya sendiri, biar nyantri di sini. Biar berkah. Kalau Gus Mus tidak percaya, ini saksinya.'' Sambil menunjuk Gus Sidqon (putra KH. Shodiq Hamzah).
Gus Sidqon mengangguk membenarkan maksud sebenarnya orang tersebut. Gus Mus tersenyum mendengar penjelasan orang tersebut. Baru kali ini, ada orang memondokkan mobil di pesantren. Akhirnya, mobil itu betul menjadi ''santrinya'' Gus Mus.
Melayani Gus Mus dan keluarga ke mana saja. Tahun lalu, mobil itu sudah diboyong oleh yang punya untuk ditukar dengan mobil lain yang lebih baik. Hari ini, 10 Agustus 74 tahun lalu, Gus Mus kecil lahir. Kiai, guru bangsa, dan budayawan, begitulah khalayak umum mengenalnya.
Cahaya ngaji dan spiritualitas berkesenian memengaruhi hati, pikiran, dan tindakan beliau. Gus Mus tidak hanya mengajar santri senior dengan kitab-kitab tebal. Santri kecil juga mengikuti pengajian beliau, dengan kitab arbain nawawiyyah.- (Abu Rokhmad Musaki- 23).
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/113523/gus-mus-dan-santri-istimewa 


Kamis, 02 Agustus 2018

K.H. Bisri Mustofa : Singa Podium

KH Bisri Musthofa: Singa Podium Pejuang Kemerdekaan




Saat ini, sosok Kiai yang setara dengan Kiai Bisri Musthofa telah jarang ditemui. Kiai Bisri Musthofa merupakan sosok yang lengkap: Kiai, Budayawan, Muballigh, Politisi, Orator, dan Muallif (penulis). Sungguh, sosok Kiai yang memiliki kecerdasan lengkap. Ayahanda Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Cholil Bisri ini menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara. Tak heran, Kiai Sahal Mahfudh menyebut Kiai Bisri sebagai sosok yang memukau pada zamannya.<>

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang, pada tahun 1914. Beliau putra pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah, terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diganti dengan sebutan Bisri. Pada tahun 1923, KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit hingga wafat. Kiai Zainal dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan putra-putranya kembali ke Indonesia.

Ketika sampai di Indonesia, Bisri bersama adik-adiknya yang masih belia, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu' Zuhdi), serta dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah). Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), hingga selesai. Bisri kecil mengaji di pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma'shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma'shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy'arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dengan demikian, sanad keilmuan Kiai Bisri jelas tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma'shum Lasem dan beberapa ulama lain.

Santri Kelana



Sebagai santri, Bisri muda memang dikenal gigih dan santun. Kecerdasan dan penguasaaan atas kitab-kitab kuning, serta sikap moral tawadhu' terhadap Kiai, menjadikan Bisri dekat dengan Kiainya, Kiai Kholil Haroen. Kemudian, Kiai Kholil menjodohkan santrinya ini dengan putrinya, Marfuah binti Kholil. Pernikahan pasangan santri ini, berlangsung pada 1935, dengan dikarunai beberapa putra-putri: Kholil Bisri, Musthofa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Setelah menikah dengan putri Kiai Kholil, Bisri muda berniat melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiah). Semangat belajar sebagai santri kelana memuncak pada diri Bisri muda. Akhirnya, jejak langkahnya untuk mengaji mendapat kesempatan, dengan melanjutkan tabarrukan kepada Kiai Kamil, Karang Geneng Rembang. Pada 1936, Kiai Bisri menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada ulama-ulama Hijaz. Di antaranya guru-gurunya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi. Selain itu, Kiai Bisri juga mengaji kepada ulama-ulam Hijaz asal Nusantara, yakni KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy'arie) dan KH. Bakir (Yogyakarta).

Setelah setahun belajar kepada ulama Hijaz, Kiai Bisri pulang ke tanah air pada 1937. Kiai Bisri kemudian membantu mertuanya, KH. Kholil Kasingan mengasuh pesantren di Rembang. Setelah itu, Kiai Bisri bersama keluarga memutuskan untuk menetap di Leteh, dengan mendidik santri dan mendirikan pesantren Raudlatut Thalibin.

Dalam mengasuh santri, Kiai Bisri sangat gigih dalam memberikan perhatian dan penanaman nilai-nilai kepada anak didik, dengan mengenalkan ibadah sedini mungkin, budi pekerti, tata krama dan tradisi-tradisi pesantren yang menjadi benteng perjuangan para kiai. Kiai Bisri menganggap bahwa hubungan antara kiai dan santri harus dekat, sebagaimana hubungan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.

Kiai Bisri berpandangan bahwa syariat Islam dapat terlakasana di Indonesia, namun  tanpa harus menggunakan formalisme agama dalam bentuk negara Islam (Darul Islam). Kiai Bisri mendukung konsep Pancasila sebagai wawasan Nusantara, serta pilar NKRI. Beliau mendorong komunikasi antara Ulama dan Zu'ama, yang bertujuan mencetak kader-kader handal di Nahdlatul Ulama. Pada konteks ini, Kiai Bisri berpandangan bahwa, perjuangan bisa dilakukan dengan dua cara: yakni jalur politik dan jalur dakwah/pendidikan (Zainal Huda, 2005: 108).

Perjuangan Keindonesiaan

Menurut Kiai Sahal Mahfudh (2005), Kiai Bisri Musthofa memang "sosok yang luar biasa pada zamannya (faridu ashrihi). Bukan hanya keilmuannya yang luas, namun juga daya tariknya, daya simpatik dan daya pikat yang memukau siapa saja yang berhadapa dengan beliau. Apalagi, ketika beliau sedang berpidato di depan khalayak ramai, dapat dipastikan para pendengar terpukau dan terpingkal-pingkal karena gaya bicara, aksen suara dan lelucon-leluconnnya yang segar.

Kiai Bisri Musthofa juga dikenal sebagai penyair, yang sering menggubah syair dari bahasa Arab ke Bahasa Jawa, yang mudah dipahami publik. Kiai Bisri, di antaranya menggubah syair Ngudi Susilo dan Tombo Ati. Syair Ngudi Susilo merupakan syair yang berisikan pesan-pesan moral yang ditujukan bagi anak-anak tentang cara menghormati dan berbakti kepada orang tua (birrul walidain). Sedangkan, syair Tombo Ati merupakan syair terjemahan dari kata-kata mutiara Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Zinul Huda, 2005: 80). Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tombo Ati dalam versi Jawa merupakan gubahan Kiai Bisri. Syair ini, saat ini banyak dilantunkan dalam grup shalawat dan musik, di antaranya sering dinyanyikan Kiai Kanjeng dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang kondang, beliau memberikan ceramah di berbagai daerah. Kemampuan komunikasi yang handal di atas panggung, menjadikan Kiai Bisri disebut sebagai 'Singa Podium'. Dalam catatan Saifuddin Zuhri (1983: 27), Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah dicerna baik orang-orang perkotaan maupun warga desa yang bermukim di kampung-kampung. Dalam orasi Kiai Bisri, hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, hal sepele menjadi amat penting. Selain itu, kritik Kiai Bisri sangat tajam, dengan karakter khas berupa gojlokan dan guyonan ala pesantren. Kritikan spontan dan segar, menjadi strategi komunikasi yang tepat, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa tersinggung atau marah. Inilah kelebihan Kiai Bisri sebagai muballigh, orator dan kiai yang paham politik.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri juga bergerak untuk melawan pasukan Kolonial. Bersama para kiai, Kiai Bisri terlibat langsung dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu, Laskar Santri menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Barisan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah telah dibentuk dibeberapa daerah. Laskah Hizbullah dikomando oleh Kiai Zainul Arifin, sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin Kiai Masjkur Malang. Pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy'arie menyerukan Resolusi Jihad, sebagai panggilan perjuangan para santri, pemuda dan warga untuk berperang melawan penjajah. Perjuangan ini menjadi bagian dari keimanan, demi tegaknya kemaslahatan bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim Asy'arie mengandung tiga unsur penting: Pertama, tiap muslim—tua, muda, dan miskin sekalipun—wajib memerangi orang kafir yang merintangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekan layak disebut Syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Di samping itu, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak diperbolehkannya qashar sholat). Di luar radius itu, dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Tentu saja, hal ini menjadi pelecut semangat  para santri untuk berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk mendukung perjuangan para santri, Kiai Hasyim Asy'arie mengundang beberapa kiai untuk bergabung. Laskar santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah perlu didukung oleh para kiai. Pada waktu itu, Kiai Bisri Musthofa turun langsung ke medan pertempuran, bersama para kiai lain, di antaranya Kiai Abbas Buntet  dan Kiai Amin Babakan Cirebon. Bahkan, rombongan Kiai Abbas Buntet singgah terlebih dulu di Rembang, untuk kemudian bersama Kiai Bisri melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Dalam bidang politik, Kiai Bisri pernah menjadi anggota konstituante. Perjuangannya dapat dilacak ketika beliau berkecimpung di parlemen maupun di luar struktur negara. Kiai Bisri juga dikenal sebagai sosok yang mendukung ide Soekarno, yakni konsep Nasakom (Nasionalis, Sosialis, Komunis). Kiai Bisri memberi catatan, bahwa ketika pihak yang berbeda ideologi, harus bersaing secara sehat dalam koridor keindonesiaan, dengan tetap mempertahankan NKRI. Akan tetapi, Kiai Bisri juga menjadi pengkritik paling tajam ketika Nasakom menjadi pahara politik. Diplomasi politik Kiai Bisri tidak hanya di ranah lokal, namun juga berpengaruh pada kebijakan politik nasional.

Jurus diplomasi politik Kiai Bisri layak dicontoh. Beliau tidak memisahkan politik dan agama, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, beliau tetap menggunakan etika dan fiqh sebagai referensi bersikap. Karena itu, tidak pernah dijumpai konflik antara Kiai Bisri dengan lawan-lawan politiknya. Aktifis NU pada zamannya, sangat menghormati Kiai Bisri, semisal KH. Idham Cholid, KH. Akhmad Syaichu, Subhan ZE dan beberapa kiai lain.

Kiai Bisri termasuk penulis (muallif) yang produktif. Karya-karyanya melimpah, dengan warna yang beragam. Sebagian besar, karyanya ditulis untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam. Karya-karya Kiai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Salah satu karya fenomenal adalah Tafsir al-Ibriz, yang ditulis dalam Jawa Pegon. Karya beliau lebih dari 30 judul, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham'an (Nuzul al-Qur'an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta'liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna', Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya', Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi'ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi'ir Pemilu, Zad az-Zu'ama wa Dzakirat al-Khutaba', Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.



Kiai Bisri Musthofa wafat pada usia 63 tahun, pada 16 Februari 1977. Ketika itu, warga Indonesia sedang menyongsong pemilu 1977 pada masa Orde Baru. Santri Nusantara membutuhkan sosok-sosok dengan kecerdasan lengkap dalam diri Kiai Bisri Musthofa. Alfaatihah.

Jumat, 20 Juli 2018

Gus Ja'far dan Kyai Tawakkal





CERPEN GUS JA'FAR DAN KYAI TAWAKAL

OLEH : KH. A. MUSTOFA BISRI

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara.
"Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."

***

Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"
"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."
'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'
'Kiai Tawakkal.'
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'
"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."
"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"
"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".
"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."
"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'
'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.
'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002

KH .A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis.
“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004.



Jumat, 06 Juli 2018

Gus Nadir (Prof. Nadirsyah Hosen) : Islam Nusantara Menuju Islam Global

Islam Nusantara: Islam Lokal yang Menuju Islam Global?



Nadirsyah Hosen


(Kolom Majalah Gatra edisi 25 Februari 2016)

Setelah gagal merumuskan secara serius konsep Islam Nusantara dalam pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 yang gaduh tahun lalu, diskursus Islam Nusantara kembali menggeliat. Penolakan sejumlah pihak dan juga ketidaksepakatan internal di kalangan pendukung Islam Nusantara memaksa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar ke 33 dan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur menggelar diskusi untuk merumuskan konsep Islam Nusantara pekan lalu.

Di saat beredar rumusan hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur melalui broadcacst di smartphone, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo mengirimkan pesan kepada saya, “…Apa yang disebut Islam Nusantara
tidak boleh melampaui wilayah [Syariat]. Maka tidak semua ajaran Islam bisa dinusantarakan.” Pandangan Kiai Afif yang terkenal luwes, fleksibel tapi tetap berpegang pada kaidah fikih ini menyiratkan masih ada persoalan penting yang belum selesai dibahas para pendukung Islam Nusantara.

Sejatinya pendukung dan penolak Islam Nusantara menggelorakan kembali perdebatan klasik soal Islam dan budaya, khususnya pada pertanyaan, “Islamisasi Jawa atau Jawanisasi Islam.” Apakah budaya Jawa yang telah berhasil di-Islamkan sehingga praktek-praktek yang bertentangan dengan Syariat telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran Islam, ataukah yang terjadi itu masuknya budaya Jawa ke dalam praktek ritual Islam sehingga ekspresi dan praktek Islam di Jawa berbeda dengan di tempat lain akibat terpengaruh unsur-unsur non Islami?

Bagi penolaknya, Islam Nusantara dianggap berusaha melegitimasi praktek budaya yang bertentangan dengan Islam. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara dimaknai sebagai Islam yang ramah terhadap budaya lokal. Bagi penolaknya, Islam Nusantara berada pada wilayah akidah yang seharusnya tanpa kompromi. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara berada pada wilayah fikih yang fleksibel. Bagi penolaknya, praktek kejawen, misalnya, dianggap penyimpangan. Bagi pendukungnya, praktek kejawen dianggap kekayaan budaya yang layak diapresiasi. Sampai di sini, bagi penolaknya, Islam Nusantara itu paham yang salah. Bagi pendukungnya, penolakan terhadap Islam Nusantara itu karena salah paham.

Terlepas dari perdebatan istilah yang dipilih, secara substansi Islam Nusantara sebenarnya kelanjutan dari ide pribumisasi Islam yang dilontarkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian diteruskan Ketum PBNU berikutnya, KH Hasyim Muzadi, dalam bentuk menolak gerakan Transnasional Islam sebagai gerakan Islam import yang tidak cocok dengan budaya Indonesia, dan kemudian KH Said Aqil Siradj melanjutkan gagasan pendahulunya dengan menyodorkan Islam Nusantara. Dari sudut keilmuan, Islam Nusantara ini kelanjutan dari gagasan Prof Hazairin akan mazhab nasional dan ide Fikih Indonesia dari Prof Hasbi As-Shiddieqy beberapa dekade silam.

Islam Nusantara dimunculkan di tengah meluasnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Sebagaimana jamak diketahui, ISIS mencitrakan Islam yang murni, keras dan barbar. Dikhawatirkan ideologi semacam itu akan masuk pula ke tanah air. Harus ada penegasan kembali akan corak islam di tanah air yang berbeda dengan ISIS dan selama ini telah terbukti menebarkan kedamaian di tanah air selama berabad-abad.

Singkatnya, proyek deradikalisasi butuh ideologi tandingan. Itusebabnya ide Islam Nusantara disambut baik oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Presiden Jokowi pun menyambut baik Islam Nusantara karena telah menjadi ‘benteng’ dan ‘banteng’ bagi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI.

Pendukung Islam Nusantara melangkah lebih jauh dengan bermaksud mempromosikannya ke dunia Islam. Islam Arab yang penuh konflik diusulkan untuk mengadopsi Islam Nusantara yang ramah dan toleran.

Tapi benarkah Islam Nusantara akan laku di dunia Arab? Jikalau yang hendak dipromosikan itu adalah produknya bukan metodenya maka dapat dipastikan Islam Nusantara tidak akan laku di belahan dunia lain.

Jangankan Islam Nusantara, Nahdlatul Ulama saja hanya kuat di daerah Jawa. Nahdlatul Ulama belum mendunia seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Isu yang diangkat oleh gerakan transnasional Islam itu adalah isu global sehingga bisa menyebar ke berbagai belahan dunia, sedangkan isu yang diangkat dan direspon oleh Nahdlatul Ulama adalah isu budaya lokal khususnya Jawa. Bagaimana kemudian lokalitas Islam Nusantara mau diangkat ke dunia global?

Modal terbesar Islam Nusantara mau berkiprah di dunia global adalah jumlah Muslim Indonesia terbesar di dunia. Akan tetapi Arab Saudi mendeklarasikan dirinya sebagai pelayan dua tanah suci, Turki merasa mewakili dunia Islam karena merekalah kekhalifahan terakhir, sementara Mesir sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi pusat studi Islam lewat Universitas al-Azharnya, lantas apa yang dimiliki Islam Nusantara?

Kalau Islam Nusantara menganggap tidak mengapa Salat memakai blangkon, namun apa mau orang Arab mengganti surbannya dengan blangkon? Gamisnya dengan sarung dan nasi kabuli dengan nasi uduk? Mempromosikan Islam Nusantara akan dianggap memasukkan budaya luar ke dunia Arab. Ini jelas musykil karena sejarah, politik dan sosial budayanya jelas berbeda. Ini bukan lagi sekedar salah paham vs paham yang salah, tapi sudah gagal paham.

Yang justru sedang mengglobal saat ini adalah Bank Islam dan Sertifikat Halal. Dunia Barat pun telah mengadopsinya. Di tanah air, keduanya sudah puluhan tahun digarap lebih dulu oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Maka tantangannya, selain istighatsah, tahlilan dan ratiban, apa program NU yang bisa dipromosikan ke dunia luar sebagai contoh produk Islam Nusantara?

Sebaiknya yang dipromosikan itu adalah manhaj Islam Nusantara, yaitu Islam yang mengakomodir budaya lokal. Itupun agak susah menembus dunia Arab karena budaya Arab sudah sukar dipisahkan dalam praktek keislaman mereka sehari-hari. Manhaj Islam Nusantara justru punya potensi untuk berkembang di dunia Barat. Maka lewat manhaj tersebut akan muncul Islam Australia, Islam Amerika atau Islam Eropa –yaitu pemahaman Islam yang sesuai dengan budaya lokal dimana Muslim berada, bukan dengan memasukkan budaya nusantara ke Eropa, Amerika atau Australia.

Justru sekarang ini pemerintahan di dunia Barat sedang pusing dengan perilaku Muslim yang masih saja tidak mau membaur dengan budaya setempat dan menonjolkan budaya negeri asal masing-masing. Islam Nusantara tidak perlu menambah kepusingan ini dengan mempromosikan dakwah melalui selametan, wayang, dan ketoprak ke dunia barat. Manhaj Islam Nusantara sebaiknya mempromosikan perlunya “fikih minoritas” untuk dijadikan pegangan bagi Muslim yg tinggal di dunia Barat.

Gelombang pengungsi Iraq dan Syria yang melanda Eropa misalnya menimbulkan problem sosial. Ada kekhawatiran bahwa para pengungsi dan imigran akan mengubah negara-negara Eropa menjadi negeri Islam. Dunia barat pun mengeluh: “mereka pindah ke sini karena negeri mereka yang berdasarkan Islam kacau balau, lantas kenapa mereka hendak mengislamkan negeri kami yang aman dan nyaman? Nanti kalau negeri kami sudah mereka islamkan, negeri kami akan kacau balau persis seperti negeri asal mereka”. Di sinilah pemahaman fikih yang lentur dan fleksibel bisa memberi pemahaman bahwa “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.

Sekali lagi, yang dipromosikan itu adalah bagaimana budaya lokal –dimanapun berada– bisa berinteraksi positif dengan ajaran Islam. Itulah hakikat Islam Nusantara: bukan sekedar Jawanisasi Islam vs Islamisasi Jawa, atau Islamisasi Eropa versus Eropanisasi Islam. Karena itu semua masih mengandaikan budaya impor vs budaya inferior, sehingga persoalannya menjadi budaya mana yang menang atau kalah.

Sejatinya, peradaban manusia ini merupakan proses interaksi dan akulturasi beragam budaya. Agama, bersama nilai-nilai sosial lainnya, menjadi kawan yang berjalan seiringan demi menggapai negeri yang gemah ripah loh jinawi dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Islam Nusantara hanyalah salah satu manhaj menuju ke sana. Semoga.

Link: http://nadirhosen.net/kehidupan/ummat/islam-nusantara-islam-lokal-menuju-islam-global