Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Februari 2019

Ke-NU-an


Ke - NU - an




“Logo Nahdlatul Ulama”

I.      Latar Belakang Berdirinya Nadlatul ‘Ulama
             Jam’iyah Nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H., bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. di Surabaya.Pendirinya adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Jombang, KH. Ridwan Semarang dll.
             Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak bisa dilepaskan dari keadaan Umat Islam Indonesia saat itu, hal ini dapat dilihat dari dua sisi.Pertama, Umat Islam Indonesia pada saat itu sedang berada dalam cengkraman kaum penjaja Belanda, sehingga ketentraman umat Islam dalam menjalankan ibadah banyak terganggu, sebab hak-hak mereka dirampas oleh kaum penjajah. Kedua,munculnya gerakan pembaruan Islam yang berfaham wahabi, dengan menentang tradisi umat Islam yang sudah sejak lama ada di Indonesia, sebagai warisan dari para wali. Mereka beranggapan bahwa keislaman masayarakat Nusantara waktu itu belum sempurna, karen penuh dengan praktek-praktek tahayul, bid’ah dan khurafat. Tuduhan syirik pun tak jarang dialamatkan pada umat islam Indonesia yang berpegang pada tradisi. Bukan hanya itu, mereka juga telah membentuk kekuatan melalui pendirian organisasi-organisasi yang berfaham Wahabi.
             Selain kedua faktor yang terjadi di Indonesia tadi, ada juga faktor internasional, yaitu; kebijakan Raja Abdul Aziz bin Suud (Saudi Arabia) yang mematenkan satu faham keagamaan saja, yaitu wahabi, dengan melakukan pelarangan bermadzab, larangan berziarah ke makam Syuhada’ dan makam Rosulullah (Bahkan mereka bermaksud menghancurkan kubah hijau makan Rosulullah SAW di Madinah), berdoa, bertawasul dilarang keras, tidak boleh membc sholawat Dalailul Khoirot sebab kesemuanya dipandang sirik dan bid’ah. Parahnya lagi, Raja ini bermaksud mengadakan Muktamar Khilafah untuk mengukuhkan dirinya, menggantikan daulah Usmaniyah, sebagai pusat kekuasaan Islam.Umat Islam dari seluruh dunia diundang, termasuk juga Indonesia.
             Delegasi Indonesia diwakili oleh tokoh Syarikat Islam, Muhammadiyah dan dari kalangan Pesantren.Namun dari kalangan Pesantren, ditolak, sebab tidak mewakili organisasi. Padahal kalangan Pesantren sangat berkepentingan dalam muktamar itu, mereka akan mengusulkan kepada raja Suud, agar memberikan kebebasan dalam bermadzhab. Olah karena itu, KH. Wahab Hasbullah, mengumpulkan tokoh-tokoh Pesantren se-Jawa dan Madura, yang menghasilkan keputusan untuk membentuk komite Hijaz sebagai utusan resmi dari kalangan Pesantren.
             KH.Hasyim Asyari menyarankan agar Komite Hijaz ini tidak hanya untuk sekedar urusan Muktamar saja, tetapi dikembangkan menjadi organisasi permanen untuk memperjuangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlus-sunnah wal-jama’ah. Akhirnya usulan tersebut dispakati oleh para ulama yang hadir dalam pertemuan tersebut dengan suara bulat, dan dibentuklah Jam’iyah Nahdlatul Ulama, pada tanggal 16 Rajab 1344 H. atau 31 Januari 1926 M.
             Dengan demikian, Organisasi NU ini, berdiri untuk mempertahankan ajaran Islam Ahlus-sunnah wal-jama’ah yang mengakui dan mengikuti madzhab, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda dalam perjuangan kemerdekaan.
             Selain itu, berdirinya NU merupakan ujung dari perjalanan dan perkembangan gagasan yang muncul di kalangan para kyai. Seab, sebelum lahir Nahdlatul Ulama, terlebih dahulu muncul organisasi para pedagang yang bernama Nahdlatut Tujjar (tahun 1918), kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1922) dan gerakan pendidikan Nahdlatul Wathan.

II. Bentuk dan Sistem Organisasi Nahdlotul Ulama
A. Tujuan Nahdlatul Ulama
             Dalam pasal 5 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama dikatakan bahwa : “ Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan menurut salah satu dari madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahata dan kesejahteraan umat”.
             Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan ikhtiar-ikhtiar sebagai berikut :
a.     Dibidang Agama, dengan mengupayakan terlaksananya ajaran ahlus-sunah wal-jamaah dan menurut madzhab empat, dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar.
b.     Dibidang Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Mengupayakan terwujudnya pendidikan, pengajaran dan pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat.
c.     Dibidang Sosial. Mengupayakan kesejahteraan lahir-batin rakyat Indonesia.
d.     Dibidang Ekonomi. Mengusahakan pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati pemangunan, dengan penguatan ekonomi kerakyatan..
e.     Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya khaira umma.
B. Struktur keorganisasian Nahdlatul ‘Ulama
Struktur organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari :
a.    Pengurus Besar, Berkedudukan di ibukota Negara
b.    Pengurus Wilayah, berkdudukan di ibukota propinsi
c.    Pengurus Cabang, berkdudukan di ibukota kabupaten/kota
d.    Pengurus cabang istimewa, berkedudukan di luar negeri
e.    Pengurus Majlis Wakil cabang, berkedudukan di ibukota kecamatan
f.     Pengurus Ranting, berkedudukan di ibukota kelurahan
Adapun, kepengurusan Nahdlatul ulama terdiri dari :
1.    Mustasyar; penasehat yang terdapat di tiap tingkat kepengurusan (kecuali tingkat ranting)
2.    Syuriyah; adalah pimpinan tertinggi nahdlatul Ulama
3.    Tanfidziah; adalah pelaksana kebijakan organisasi
C. Perangkat Organisasi Nahdlatul Ulama’
Perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama terdiri atas:
1. Lembaga
             Adalah perangkat departemen organisasi Nahdlotul Ulama’ yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlotul Ulama’, khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu. Lembaga-lembaga tersebut adalah :
a.       Lembaga Dakwah Nahdlotul Ulama’(LDNU) bertuigas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dibidang penyiaran agama islam Ahlussunah Wal Jama’ah.
b.       Lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlotul Ulama’ (LP. MA”ARIF. NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dibidang pendidikan dan pengajaran, baik formal maupun non formal selain pondok pesantren.
c.       Lembaga Sosial Mabarot Nahdlotul Ulama’ (LS MABAROT NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang sosial dan kesehatan.
d.       Lembaga Perekonomian Nahdlotul Ulama’ (LP. NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlotul Ulama’.
e.       Robithoh Ma’had (RMI) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan pondok pesantren.
f.        Lembaga Kemasyarakatan Keluarga Nahdlotul Ulama’ (LKKNU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang kemaslahatan keluarga, kependidikan dan lingkungan hidup.
g.       Lembaga Tamir Masjid Indonesia (LTMI) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan dan kemakmuran masjid.
h.       Lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia (LAKPESDAM) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dalam bidang kajian dan pengembangan sumber daya manusia.
i.         Lembaga Seni Budaya Nahdlotul Ulama’ (LESBUMI NU) bertugas melajsanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang seni dan budaya.
j.        Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlotul Ulama’ (LPBH NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang Penyuluhan dan bantuan hokum.
k.       Jamiatul Quro’wal hiuffad bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan seni baca dan metode pengajaran dan hafalan Al Qur’an.
2. Lajnah
                   Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’ untuk melaksanakan program Nahdlotul Ulama’ yang memerlukan penanganan khusus.
a.       Lajnah Falaqiyah bertugas mengurus masalah hisab dan ru’yah.
b.       Lajnah Ta’lif Wanafsir bertugas di bidang penerjemahan, penyusunan dan penyebaran kitab-kitab menurut faham Ahlussunah Wal Jama’ah.
c.        Lajnah Auqof bertugas menghimpun dan mengelola tanah serta bangunan yang diwakafkan kepada Nahdlotul Ulama’.
d.       Lajnah Waqof Infaq dan Shodaqoh bertugas menghimpun, mengelola dan mentasarufkan zakat, infaq, dan shodaqoh.
e.        Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, bertugas menghimpun, membahas dan memecahkan masalah maudzuiyah dan waqiiyah yang harus segera mendapat kepastian hokum.
3. Badan Otonom
                   Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’ yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlotul ULlama’, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu yang beranggotakan perseorangan.
1.     Jam’iyah ahli thoriqoh mu’tabaroh annahdiyah, badan otonom yang menghimpun pengikut aliran thoriqoh yang Mukhtabar di lingkungan Nahdlotul Ulama’.
2.       Muslimat Nahdlotul Ulama’ (Mulimat NU) menghimpun anggota perenpuan Nahdlotul Ulama’.
3.       Fatayat Nahdlotul Ulama’ (Fatayat NU) menghimpun anggota perempuan muda Nahdlotul Ulama’.
4.       Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR) menghimpun anggota pemuda Nahdlotul Ulama’
5.       Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’ (IPNU) menghimpun pelajar, santri, dan mahasiswa laki-laki.
6.       Ikatan Pelajar Putri Nahdlotul Ulama’ (IPPNU) menghimpun pelajar, santri dan mahasiswa perempuan.
7.    Ikatan Sarjana Nahdlotul Ulama’ (ISNU) menghimpun para sarjana dan kaum intelektual di kalangan Nahdlotul Ulama’. 
8.    Pagar Nusa menghimpun para anggota Nahdlotul Ulama’dalam bidang bela diri pencak silat.



http://ipnuippnubumiayu.blogspot.com/2015/08/materi-makesta-ke-nu-an.html?m=1

Rabu, 30 Januari 2019

Kisah Gus Dur oleh K.H. Masruri A. Mughni



Gus Dur & KH. Masruri Mughni

KH. Masruri Abdul Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. “Kamar saya dan Gus Dur bersebelahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar Pangeran Diponegoro 6,”katanya.

“Tapi dia berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah (KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” lanjut Abah Masruri.



Ketika semua orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan,“Biar semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni (memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah banyak yang yakin cucu KH. Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi dengan dunia ghaib.







“Gus Dur yakin betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,” tutur Kiai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog, Brebes itu.

Demikian pula saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman Wahid di Bali malah mengatakan, “Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali besar.”

Pernyataannya itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata “Kalau”. Sehingga seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.

“Saya sedih dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak ditembaki lagi,” tutur Gus Dur seperti ditirukan Kiai Masruri.

Banyak hal yang sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH. Hasyim Asy’ari itu disampaikan Drs. H. Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui Gus Dur di kantor PBNU.“Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KH. M. A. Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah Tempo,” katanya.

Pada saat tiba kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temannya yang mengeluh butuh biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo langsung diserahkan kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu. Ya, Gus Dur telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhiriz zaman.


Kamis, 05 Juli 2018

Syaikh Subakir & Sabdo Palon : Tradisi Jawa dan Islam

*Percakapan Syeh Subakir dan Sabdo Palon*
❤🧡💛💚💙💜🌷🍁💐🌹🆗🔝



Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.

Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala.

Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur.

Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.

Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.

Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?

Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.

Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.

Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.

Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?

Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.

Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?

Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?

Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.

Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.

Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’.

Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.

Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung.

Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.

Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa.

Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri.
Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.

Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.

Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.

Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.

Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.

Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?

Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan.

Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam.

Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu.

Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam.

Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.

Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini.

Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.

.....Wong jowo ojo nglaleke jowo ne👍🏽👍🏽👍🏽🇮🇩🇮🇩🇮🇩

ISLAM NUSANTARA MENJADI MOMOK DALAM BERITA

Tertarik Islam Nusantara, 168 Masjid di Belgia Minta Imam Masjid Berasal dari NU

Ketua PBNU Marsudi Syuhud mengatakan bahwa model Islam di Indonesia (Islam Nusantara) saat ini sudah menjadi rujukan negara-negara di dunia dalam menciptakan kondisi damai dan menyejukkan sesuai dengan tujuan Islam yaitu Rahmatan lil Alamin. Saat ini, Islam Nusantara menjadi tema utama dan sudah ditunggu-tunggu kehadirannya di seluruh dunia. Ia mengungkapkan beberapa contoh seperti di Belgia terdapat 168 masjid yang meminta Imam masjid yang berasal dari NU.

“Negara-negara luar negeri sudah datang ke NU. tidak hanya negara Barat. Uni Eropa, Amerika, Inggris termasuk Timur Tengah dan Afrika,” ungkapnya saat memberikan penjelasan posisi NU menghadapi kondisi kekinian pada Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) Ke-1 NU Lampung di Bandarlampung, Ahad (1/7) malam.

Ia juga mengisahkan tentang perjuangan PBNU yang telah membantu Afghanistan dalam upaya perdamaian negara yang ratusan tahun dilanda konflik ini. Ia mengungkapkan bahwa belum pernah ulama Afghanistan dari suku-suku yang ada, berkumpul dalam satu majelis. Padahal para ulama ini memiliki madzhab dan tarikat yang sama. Namun terus terjadi permusuhan sampai ratusan tahun.

“Dan yang bisa mempertemukan adalah Nahdlatul Ulama,” tegasnya.

Ia mengisahkan bagaimana waktu pertama dikumpulkan di Hotel Borobudur Jakarta, para ulama dari Afghanistan dari berbagai suku ini didudukkan dengan cara selang-seling agar dapat berkomunikasi dengan baik. Namun ternyata mereka tidak mau berkomunikasi karena sejarah panjang konflik antar suku mereka membuat suasana pertemuan tidak mencair.

Pada pertemuan pertama tersebut para ulama Afghanistan mendapatkan cerita tentang perjuangan para ulama Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan para ulama Indonesa dalam mewujudkan NKRI harus menghadapi berbagai tantangan dari berbagai kelompok melalui pengorbanan moril, materiil, jiwa dan raga.

Setelah itu lanjutnya, pada pertemuan kedua yang dilakukan di Turki sudah mulai terlihat perkembangan positif. Terlihat dari sudah terbukanya komunikasi dengan baik. Dan akhirnya pada pertemuan ketiga di Indonesia, PBNU membawa ulama Afghanistan ke pondok-pondok pesantren di Indonesia.

“Saat itulah mereka nangis saling berpelukan dan berkomitmen ingin mendirikan pondok pesantren seperti NU. Konsep seperti Islam di Nusantara inilah yang mereka inginkan ,” katannya menirukan ungkapan hati para ulama Afghanistan.

Akhirnya NU pun menjadi saudara dan ormas NU didirikan di Afghanistan dengan para menterinya menjadi pengurus NU. Dan setelah itulah NU memberikan program bea siswa kepada para pelajar Afghanistan untuk belajar tentang Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama.

“Bagi pondok pesantren di Lampung yang berkenan menampung para pelajar dan santri dari Afghanistan bisa menghubungi PBNU,” katanya seraya menambahkan bahwa bukan hanya ke Afghanistan saja tapi model Islam Nusantara ini diinginkan oleh seluruh negara.

https://news.baldatuna.com/tertarik-islam-nusantara-168-masjid-di-belgia-minta-imam-masjid-berasal-dari-nu/


Penjelasan Tentang Islam Nusantara

________________
Keputusan Bahtsul Masail Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang, 13 Februari 2016.

A. Mukadimah
B. Poin-poin Pembahasan
1. Maksud Islam Nusantara
2. Metode Dakwah Islam Nusantara
3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
a. Ayat al-Quran dan hadits yang Redaksinya Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
d. Melestarikan Tradisi/Budaya yang Menjadi Media Dakwah
4. Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
a. Sikap terhadap Pluralitas Agama
b. Toleransi terhadap Agama Lain
c. Toleransi terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah
5. Konsistensi Menjaga Persatuan Bangsa untuk Memperkokoh Integritas NKRI

Musahih:
KH. Syafruddin Syarif
KH. Romadlon Khotib
KH. Marzuki Mustamar
KH. Farihin Muhson
KH. Muhibbul Aman Ali

Perumus:
Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
H. Azizi Hasbulloh
H. MB. Firjhaun Barlaman
H. Athoillah Anwar
H. M. Mujab, Ph.D

Moderator:
Ahmad Muntaha AM

Notulen:
H. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi

ISLAM NUSANTARA

Mukadimah

Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:

أَنَّ أَحْوَالَ الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.

“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”

Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil dalam beberapa hal, antara lain:

1. Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halalbihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca sholawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarga wanita maupun keluarga laki-laki, dan tradisi lainnya.

2. Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian adat lain, terutama telihat dalam pakaian pernikahan dimana pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.

3. Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang shalat Id di lapangan, masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang shalat Tarawih 20 rakaat, ada pula yang 8 rakaat. Diantara pelaksanaan Tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.

4. Dalam hal toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.

5. Dalam toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari libur lainnya.

Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik yang pro maupun yang kontra sejak sebelum Muktamar digelar sampai sekarang. Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan persepsi tentang Islam Nusantara.

Pembahasan

1. Maksud Islam Nusantara

Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Saw., sedangkan kata “Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama bagi seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.

Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh para pendakwahnya, yang diantara tujuannya untuk mengantisipasi dan membentengi umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan paham-paham lain yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jama'ah, sebagaimana tersirat dalam penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah (h. 9):

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ المُبْتَدِعِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ كَانَ مُسْلِمُوْا الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ وَالمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِي، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.

Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b) metode (manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi etnis, multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai, seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-‘Asyrah, (h. 23-24) saat menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmat (Sunan Ampel):

ثم قال السيد رحمة أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة. فنحن أول مسلم في جريرة جاوه … فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا. وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)، وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله أفواجا.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga memaparkan dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk riyadhah (tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu maupun sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan tidak dapat disembuhkan para tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).

2. Metode Dakwah Islam Nusantara

Sampai kini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. Diantara yang menjelaskannya adalah ulama Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke Nusantara (Jawa secara lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah, bersamaan dengan kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri Campa (Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk bibinya, Martanigrum, yang menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya’ Syahab, dalam ta’liqatnya atas kitab Syams adz-Dzahirah, Sayyid Ali Rahmat datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.

Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah, setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya al-‘Asyrah yang antara lain dengan:
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan pamannya, Maulana Ishaq, dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f. Politik: politik li i’lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.

(Referensi: Ahla al-Musamarah, h. 14-48 dan Syams adz-Dzahirah, I/525).

Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama dengan metode dakwah di masa Walisongo, meskipun dalam strateginya perlu dilakukan dinamisasi sesuai tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada aturan syar’i. Secara terperinci metode tersebut dapat dilakukan dengan:
a. Berdakwah dengan hikmah, mau’idzah hasanah, dan berdialog dengan penuh kesantunan.
b. Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan agama.
c. Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d. Memprioritaskan mashlahah ‘ammah daripada mashlahah khasshah.
e. Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f. Berprinsip dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.

Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah yang punya pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya akan berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi). Allah Swt. berfirman:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71).
اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60)

Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang menganggap mashlahah tanpa dasar dalil syar’i maka batal. Beliau juga mengatakan, mashlahah yang dilegalkan syara’ adalah menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.

Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang diutarakan Imam Malik, maka fuqaha Syafi’iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri telah melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik memang melegalkan mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang dimaksud Imam Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah, bukan dalam setiap mashlahah. 

Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir menjadikan sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka berhasil menerobos maka berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah negeri kaum Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas akan menjamin keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih banyak, namun pasti mengorbankan sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai perisai tersebut. Dalam kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan kemaslahatannya sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara’ apakah dii’tibar atau diilgha’kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak dalam semua mashlahah.

Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah dengan:
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta’abbudi (dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan ‘illat.

(Referensi: Al-Bahr al-Madid, IV/95, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48, al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175, al-Mustashfa, VI/48, al-Ihkam, IV/160, at-Taqrir wa at-Tahbir, III/149, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48, dan Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48).

3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya

Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya Islam akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu berbagai ayat al-Quran dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir tradisi/budaya; dan beberapa tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam. Selain itu, dakwah Islam di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan dijelaskan.

a. Redaksi Ayat Al-Quran dan Hadits yang Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat

Pertama, ayat tentang riba:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران :13)

Jika dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang dalam ayat ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi tidak ada satupun pendapat Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit. Sebab kata أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً merupakan pengakomodasian budaya kafir jahiliyyah dimana saat itu mereka berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang berlipat ganda.

Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23)

Secara literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi tidak ada satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak. Sebab penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian budaya jahiliyyah dimana jika ada percerian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri, daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri, karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.

Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:

اَلْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26)

Dalam ayat ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa wanita jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria shalih dan sebaliknya. Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria shalih dan sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan sebaliknya. Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya, sehingga secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.

Keempat, anjuran untuk menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadits yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi Saw., namun dalam hadits lain beliau membiarkan Hassan Ra. berdiri menghormatinya sesuai tradisi masyarakat Arab. Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk berdiri menghormati Mu’adz bin Jabal Ra.:

عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ – أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم)

(Referensi: Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455 dan I’anah ath-Thalibin, III/305).

b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam

Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)

Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi:

عَن عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح)

Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji, namun dengan mengganti kebiasaan telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.

Keempat, kebolehan untuk menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majusi di hari raya mereka selain daging sembelihannya.

(Referensi: Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9, as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305, dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249).

c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya

Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.

Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.

عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)

Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya. Allah berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)

Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan dzikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang belum lurus saja.

Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.

Keempat pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M/8 H, atau saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون وثلاثمائة نصب فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا. جاء الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري)

(Referensi: Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39, Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62, dan I’lam al-Muwaqqi’in, III/12).

d. Melestarikan Tradisi/Budaya yang Menjadi Media Dakwah

Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.

Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip mashlahah).

Referensi: Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara, Nihayah az-Zain, 281, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, al-Adam as-Syar’iyyah, II/114, dan Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62).

4. Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan

a. Sikap terhadap Pluralitas Agama

Pertama, meyakini bahwa pluralitas agama (perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini kebenaran semua agama) di dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam amr ma’ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran dari muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar prinsip-prinsipnya.

... وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)

Kedua, memperkuat keyakinan atas kebenaran ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama lain dan menghindari memaki-maki penganutnya. Allah Swt. berfirman:

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108)

Ketiga, menolak dakwah yang bertentangan dengan Islam dengan cara terbaik dan bijaksana, serta menunjukkan kebaikan ajaran Islam. Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ. وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 33-34)

Keempat, amr ma’ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana. Allah Swt. berfirman:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل: 125)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (البقرة: 44)

(Referensi: Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114).

b. Toleransi terhadap Agama Lain

Toleransi terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat merupakan keniscayaan, demi terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah pluralitas. Bahkan Islam mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua manusia tanpa memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap orang shalih maupun sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul (III/97) mengatakan:

وقال صلى الله عليه وسلم: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن أسكنه في حظيرة قدسي وأن أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن يحسن خلقه مع أمره ونهيه، الثانية أن يحسن خلقه مع جميع خلقه، الثالثة أن يحسن خلقه مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما يشاء له ربه.

Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu’amalah dzahirah yang baik antarumat beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengganggu pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.

Namun demikian, penerapan toleransi kaum Muslimin terhadap agama lain perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
1) Tidak melampaui batas akidah sehingga terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut meramaikan hari raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.

(Referensi: Faidh al-Qadir, III/71, Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11, Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain, 199, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, Asna al-Mathalib, III/167, al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239, al-Adab as-Syar’iyyah, IV/122, Bughyah al-Mustarsyidin, I/528, dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8).

c. Toleransi terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah

Selain pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam pemahaman keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan toleransi terhadap kelompok umat Islam yang dalam masalah furu’iyyah maupun ushuliyyah berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Secara prinsip toleransi dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang merahmati semesta alam dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi antarumat beragama. Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi terhadap kelompok umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah sama dengan batas-batas dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh melampaui batas akidah dan syariat.

Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat (propaganda) yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif, mengancam kesatuan Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.

عن معاوية بن حيدة قال : خطبهم رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون عن ذكر الفاجر هتكوه حتى يحذره الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط والصغير حسن رجاله موثقون واختلف في بعضهم اختلافا لا يضر)

Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1) Dalam melakukan amr ma’ruf nahi munkar kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar, terlebih di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam Sunni. Dalam kondisi seperti ini amr ma’ruf nahi munkar wajib dikoordinasikan dengan pemerintah.
2) Tidak menganggap kufur mereka selama tidak terang-terangan menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma’) atas kekufurannya, yaitu menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak mungkin dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang bersifat mutawatir atau yang didasari ijma’ yang diketahui secara luas (ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
3) Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.
4) Dalam ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan yang lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap individu mempunyai dosa dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص: 55-56)
وَلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ يُنْجِىَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ ». قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ إِيَّاىَ إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا ». (رواه مسلم)

(Referensi: Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, al-jami’ as-Shaghir, I/85, Majma’ az-Zawa’id, I/375, al-Milal wa an-Nihal, II/321-322, dan Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19).

5. Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas Bangsa

NKRI dan Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan Muslim di kawasan-kawasan mayoritas non-Muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan. 

Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw., yang berhasil menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn Hisyam, Piagam Madinah diantaranya menyatakan:

بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ … وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ … وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ … وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ … وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ …

Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad Saw. menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri menghadapi ancaman dari luar.

Selain itu, untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama, diantaranya dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jama'ah.

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام اية 108)
َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)
عن ابن عمر أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه و سلم: اختر منهن أربعا … (رواه ابن حبان. صحيح )
حدّثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ . وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه ابن حبان. مسلم)
َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)

(Referensi: Al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Risalah al-Qusyairiyah, I/103, Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212, dan al-Majalis as-Saniyyah, 87).

File word dan PDF Keputusan BM Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang ISLAM NUSANTARA bisa didownload di aswajanucenterjatim.com.


============[=[====]=]===========


Jakarta -
 Harian al-Arab, koran berbahasa Arab yang terbit di London menurunkan tulisan panjang dengan judul
 " Islam Nusantara Madkhal Indonesia li Mujtama' Mutasamih" 
. Artinya: Islam Nusantara adalah gerbang Indonesia menuju masyarakat toleran. 

* Beberapa bulan yang lalu, harian terbesar di Mesir Al-Ahram dan al-Masry al-Youm juga memotret Islam Indonesia yang ramah dan toleran, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

* Namun yang unik dan menarik dari liputan Harian al-Arab ini, karena secara khusus memotret Islam Nusantara yang secara resmi digaungkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang. Islam Nusantara terus membahana di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan hingga Amerika Latin.

* Kali ini, media yang berbahasa Arab tidak ketinggalan untuk mengetengahkan gerakan Islam Nusantara yang dianggap telah berhasil menghadapi paham dan kelompok-kelompok ekstremis yang kerap menggunakan jubah agama. Sebagai sebuah nama, Islam Nusantara bisa dikatakan baru. Tetapi sebagai sebuah gerakan, Islam Nusantara sudah lama sekali tumbuh dan berkembang, terutama jika merujuk kepada sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dikenal menghargai tradisi dan budaya lokal. Corak tersebut ingin menegaskan bahwa Islam yang dibawa dan datang ke Nusantara, khususnya Indonesia, adalah Islam yang ramah, moderat, dan toleran.

* Ketika Islam Nusantara menjadi perbincangan di media berbahasa Arab, maka hal tersebut akan menjadi dentuman yang dahsyat. Pasalnya, dunai Arab saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup serius perihal maraknya ekstremisme dan terorisme. 

* Sejak jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, dunia Arab sulit bangkit dari keterpurukan. Alih-alih bangkit, justru mereka terperosok dalam kubungan maraknya ideologi-ideologi ekstremis-radikal, yang hingga sekarang ini memecah belah dunia Arab. Mereka masih enggan untuk memasuki era demokrasi dan modernitas yang memberikan ruang pada rasionalitas. Mayoritas dunia Arab ingin kembali ke masa lalu.

* Nah, munculnya Islam Nusantara merupakan wajah baru yang bisa dijadikan sebagai oase pemikiran bagi dunia Arab, dan dunia Islam pada umumnya. Mereka selama ini alergi terhadap segala hal yang berbau Barat, karena Barat identik dengan kolonialisme. Mereka pun mulai melirik wajah Islam lain yang tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya, Islam Nusantara mendapatkan perhatian khusus.

* Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Kiai Said Aqil Siradj dalam pidato pembukaan Muktamar NU ke-33 di Jombang menggarisbawahi beberapa karakteristik dari Islam Nusantara.

 * Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah. 

* Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling bahu membahu untuk mewujudkan kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final.

*  Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta'addudiyyah). Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama, dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar di antara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan. 

Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Keempat karakter tersebut memang secara distingtif menjadi unsur pembeda antara Islam Nusantara dengan Islam ala Timur Tengah. Salah satu yang mencolok perbedaannya karena Islam ala Timur Tengah cenderung bersifat politis. Sedangkan Islam Nusantara bersifat kultural. 

Meskipun demikian, tantangan di masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah banyak hal. Karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi paradigma Islam Nusantara, terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin dinamis.

Semua menyadari, kaum muda yang dikenal dengan "kaum milenial" kerap menjadi sasaran utama kelompok ekstremis. Karena keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang meluap untuk mencari jati diri dan identitas, maka mereka mudah dicekoki dengan paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan. Akhirnya mereka terjerembab dalam paham khilafah.

Di era Google, setiap orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai "muslim sejati". Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di permukaan, sehingga muncul istilah "muslim google" dan "muslim wikipedia". 

Maka dari itu, para penggiat studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan. NU melalui diskursus Islam Nusantara berada di garda terdepan untuk senantiasa menggelorakan paham Islam Rahmatan lil 'Alamin yang mengukuhkan moderasi dan toleransi, serta nasionalisme yang tinggi. 

Apresiasi media berbahasa Arab terhadap Islam Nusantara merupakan modal dan bukti nyata, bahwa keberislaman kita tidak kalah bersaing dengan paham-paham yang berkembang di Timur Tengah. Bahkan, kita bisa menyumbangkan pemikiran kita kepada Timur Tengah yang saat ini sedang galau dan kehilangan arah. 

Zuhairi Misrawi intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
#ISLAM_NUSANTARA


==[====================]==