Senin, 30 Juli 2018

Catatan Peziarah : Mbah Malik Kedungparuk



*Ziarah Mbah Malik Kedung Paruk Ledug Kembaran Purwokerto*
Sang Guru dari Habib Lutfi bin Yahya bin Ali

   sudah sering kali, saya berziarah ik Kedung Paruk Ledug Kembaran Purwokerto ini. safari ziarah saya yang kedua Alhamdulillah bisa ketemu dan mengenal putra mbah malik yang meneruskan di Kedung Paruk, bernama Kiyai H. Muhammad Ilyas bin Malik bin Muhammad Ilyas (Mbah Ilyas). Akan tetapi, sekitar tahun 2016 M kemarin beliau wafat. dan sekarang diteruskan oleh putranya (cucu Mbah Malik) bernama Gus Subkhi Asad. Walaupun sekarang jarang komunikasi dengan beliau.
   Pada masa Mbah Ilyas, sudah terdapat tradiri hampar tikar saat proses melahirkan. Tradisi ini sudah meluas ke seluruh Banyumas. saat itu, istri muda dari mbah ilyas sedang melahirkan, sehingga dihamparkan tikar sebagai proses persalinannya. Ajaib, jabang bayi tidak mau lahir di hamparan tikar, Mbah ilyas menyuruh pindah istrinya ke tempat tidur yang ada di kamar. Akhirnya jabang bayi lahir laki-laki. Bayi ini dipegang mbah ilyas dan diberi nama Muhammad Ash'ad (maknanya: Muhammad yang naik derajatnya). inilah doa orangtua yang saat itu sudah digelar tikar tetapi naik ke tempat tidur sehingga dengan sigap mbah ilyas beri nama demikian. Lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, tepat hari Jum'at, 3 Rojab 1294 H (1881 M). Dan Jabang bayi ini ketika sudah dewasa malah terkenal dengan nama Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk, Purwokerto.
Karena Mbah Ilyas keturunan dari Pangeran Diponegoro, jadi secara otomatis beliau juga mewarisi garis nasabnya dan secara alamiah ia juga mewarisi ilmu dari Ayahnya dan juga leluhurnya. Berikut silsilahnya atas dasar ”Surat Kekancingan” dari Kraton Yogyakarta (pada Mbah Ilyas), yaitu KH Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin KH Muhammad Ilyas bin Raden Mas (RM) Haji Ali Dipowongso bin (putra Diponegoro) HPA. Diponegoro II bin (Pangeran Diponegoro) HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan (S) Hamengku Buwono III Yogyakarta. Dan asal usul Nama "Abdul Malik" didapat dari mbah Ilyas mengajaknya beribadah haji bersama. Sehingga saat itu dipanggil Abdul Malik (Mbah Malik).

Mbah Malik ketika masih kecil, berguru mengaji dengan mbah Ilyas langsung. karena Mbah Ilyas sebagai orangtua dan tidak ada yang berani mendidik anaknya selain mbah Ilyas sendiri. Khatam mengaji Al-Qur'an dengan ayahnya, Mbah Ilyas, ia mengikuti petunjuk ayahnya untuk mengaji Agama dengan Kiyai Abu bakar bin H Yahya Ngasinan, di daerah Kebasen, Banyumas.

   Mbah Malik juga mendapatkan pendidikan agama dari saudara dari Istri Tua Ayahnya di Sokaraja, Purwokerto. Saudaranya bernama Kiyai Muhammad Affandi, beliau saudagar yang kaya raya. saat itu beliau mempunyai lebih dari 2 kapal haji yang dipergunakan untuk berhaji ke Makkah.

   Beranjak 18 tahun, Mbah Abdul Malik berangkat ke Makkah mengaji ilmu agama berguru. Mbah Malik belajar mulai dari Tafsir, Hadits, Fiqih, Tasawwuf dan sebagainya. Mbah Malik belajar di Tanah Suci kurang lebih 15 Tahun lamanya. Kemudian ia pulang dan mulai safari dakwahnya, melanjutkan kiprah Ayahnya, Mbah Ilyas, yang saat itu sudah lanjut usia. Dan 5 tahun kemudian Mbah Ilyas wafat dengan Usia 147 Tahun dan kebumikan di Sokaraja Lor.

Mbah Malik muda setelah wafat ayahnya, ia bersafari dakwah ke beberapa daerah dengan berjalan kaki. Safari dakwahnya sampai semarang, pekalongan dan wilayahnya lainnya dan selesai tepat di hari seratus usia wafatnya ayahnya, Mbah Ilyas. dan Kemudian, Mbah Abdul Malik melakukan pengajian rutin di rumahnya Kedung Paruk bersama ibundanya.

*Guru Mbah Malik*

Syaekh Abdul Malik (mbah Malik) telah banyak berguru, baik itu berada di Indonesia bahkan banyak juga di Tanah Arab. Guru yang di Jawa yaitu Syaekh Muhammad Mahfudz bin Abdullaah at-Tirmisi al-Jawi. Mbah Sholeh Darat Semarang, Habib Ahmad Fad'aq (usia cukup panjang 141 tahun). Habib Aththos bin Abu Bakar Al-Aththos, Habib Muhammad bin Idrus Habsyi ketika di Surabaya. Dan Ketika di Bogor dengan Habib Abdullah bin Muhsin Al Aththos.

Ketika berguru di Makkah adalah dengan Syaikh Umar asSyatho' dan Syaikh Muhammad Syatho', Syaikh Alwi Syihab bin Sholih bin Agil bin Yahya. Syaikh Ahmad Nahrawi dan lain sebagainya. selama disana, Mbah Abdul Malik ini diberi amanah menjadi Wakil Mufti Madzhab Imam Syafi'i, dan prestasinya yang luar biasa, mbah Malik ini diberi kesempatan untuk mengajari ilmu agama di Makkah, termasuk ilmu tafsir dan juga ilmu qira'ah sab'ah.

*Safari Dakwah Mbah Malik*

mbah Malik ini memulainya dengan berkeliling daerah saat sepeninggalnya Ayahandanya, Mbah Ilyas, sampai pada 100 hari wafat ayahnya. dan kemudian memulai berdakwah saat itu berhadapan langsung dengan belanda. Saking gigihnya berjuang membela bangsa Indonesia. Segala Aktifitas Mbah Malik dipantau oleh pemerintah Belanda saat itu. Dan menjadi Target penangkapan.

Setelah Indonesia Merdeka, Mbah Malik masih gigih berjuang untuk mengusir penjajah, Jepang dan Belanda. dan saat Gestapu, Mbah Malik ini tertangkap PKI ketika safari dakwah di Bumiayu Brebes dan tertangkapnya setelah memberikan aji ilmu kekebalan (kesaktian) kepada laskar (pasukan) Pemuda Islam. Tetapi entah apa, Mbah Malik bisa membebaskan diri setelah tertangkap oleh PKI.

Mbah Abdul Malik selalu mengamalkan dua wirid utama, baca al-Qur’an dan juga baca Sholawat. Kewajiban dan sunnah yang dilakukan inilah menjadikan ia dijunjung tinggi baik kawan maupun lawan.

Mbah Malik menjalin silaturrohim dengan baik kepada para ulama dan para habib, semisal K.H. Hasan Mangli (dari Magelang), Habib Sholeh bin Muhsin alHamid (dari Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafagih (dari Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (dari Brani, Probolinggo), dan lainnya.

Diantara ulama-ulama ini yang mengaku menjadi santrinya mbah malik dan sering datang rumah mbah Malik yaitu Syaikh KH Ma’shum (dari Lasem, Rembang). Mbah KH. Dimyathi (dari Comal, Pemalang), K.H. Kholil (dari Sirampog, Brebes), K.H. Anshori (dari Linggapura, Brebes), K.H. Nuh (dari Pageraji, Banyumas sendiri). Ulama-ulama sudah mau menundukan dirinya untuk berguru dengan Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk.

Dan diantara para santrinya langsung mbah Malik adalah K.H. Abdul Qadir, Kiyai Sa’id, K.H. Muhammad Ilyas Noor (Cucunya sendiri sebagai mursyid Thariqaah Naqsabandiyyah Al-Kholidiyah), K.H. Sahlan (dari Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Basholah (dari Yogyakarta), K.H. Hisyam Zaini (dari Jakarta), dan yang sekarang ketua thoriqoh sedunia Al Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya (dari Pekalongan), K.H. Ma’shum (Purwokerto) dan masih banyak lagi santrinya di penjuru nusantara.

*Keluarga Mbah Malik*

Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (Mbah Ilyas) menikah dengan 3 istri. Istri yang pertama yaitu Nyai H. Warsiti binti Abu Bakar (dikenal Mbah Johar). Istri yang cantik, puteri gurunya, bangsawan Kiyai Abu Bakar bin H. Yahya, Kelewedi, Ngasinan, Kebasen. Mbah Johar (istri pertama) dicerai setelah punya anak laki-laki bernama Ahmad Busyairi (wafat 1953 M, usia 30 tahun). Ahmad Busyairi, pemuda yang wafat dan belum pernah menikah (masih bujang). Wafatnya sudah mendapat isyarat dari Mbah Malik yang waktu itu berkata dengannya untuk menikah di Syurga saja. alhasil dari tuturan ayahnya pemuda Busyairi senang sekali. dan Akhirnya meninggal dunia.

Istri yang kedua dari mbah Malik, yaitu Mbah Mrenek, janda kaya-raya berasal dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Hasil Nikah dengannya tidak melahirkan keturunan. Dan suatu hari, ketika Mbah Malik mau menceraikannya, tetapi Mbah Mrenek meminta untuk tidak menceraikannya dan ingin jadi istri dunia dan akhirat. Akhirnya Mbah Malik mengabulkan permintaannya.

Dan istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Siti Khasanah, wanita elok rupawan tetangganya sendiri Kedung Paruk. Hasil Nikahnya diberi seorang anak perempuan namanya Hj. Siti Khoiriyyah. (wafat 4 tahun setelah Mbah Malik meninggal).

Mbah Muhammad Ilyas Noor selalu menyampaikan pesan (wasiat) kepada para jamaah hadiririn 1) jangan tinggalkan sholat. 2) jangan tinggalkan baca al-Qur'an. 3) jangan tinggalkan baca shalawat. inilah wasiat mbah Malik.

Haul (wafatnya) Mbah Malik tanggal 21 Jumadil Akhir 1400 H / 17 April 1980 M. Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas dikebumikan di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin, Kedung Paruk,Ledug Kembaran Purwokerto.

*Nasionalisme Mbah Malik*

Terdapat suatu kisah, dimana kisah ini, pelaku sejarahnya masih hidup, yaitu habib Luthfi, yang waktu itu sebagai murid kesayangan mbah malik. ketika dalam perjalanan, antara tengah jalan daerah Bantarbolang dan daerah Randu dongkal Pemalang, Mbah Malik (KH. Abdul Malik bin Ilyas) ujug ujug memerintahkan supirnya untuk berhenti;
“Bapak Yuti, istirahat dulu,” kata Mbah Malik kepada supirnya, Suyuti, untuk segera menepikan kendaraan mobil untuk beristirahat.
“cari yang adem saja, biar untuk istirahat enak dan gelar tiker,” pinta Mbah Malik.

Waktu itu menunjukkan jam 09.45 WIB. Setelah menghentikan mobilnya, mbah malik, habib Luthfi, dan pak suyuti menggelar tikar untuk beristirahat dan bekal termos (beriisi makanan) juga dihidangkan, kemudian Mbah Malik mengeluarkan sebungkus rokok, khasnya klembak-menyan, lalu diracik mbah Malik sendiri setelah jadi baru dinikmati rokoknya oleh mbah Malik. Dengan menikmati rokoknya, mbah Malik bolak balik lihat Jam yang dibawanya di kantong.

“Dilut maning... (bentar lagi..).” kata mbah Malik.

Habib Luthfi menjadi keheranan. Dan penasaran apa yang dilakukan Gurunya. Karena Mbah Malik bolak balik lihat jam dan berkata sebentar lagi. Tiba-tiba Rokok yang tadi dinikmati dimatikan walaupun belum habis. Semakin kaget Habib Luthfi dan sang supir. Waktu menunjukkan Jam 09.50 WIB.

"Pak Yuti, bib Luthfi, Ayo mriki (mari ke sini)!” kata Mbah Malik.
Kemudian berkumpul mendekat dengan Mbah Malik, lalu dibacakan hadhroh alFatihah untuk Nabi Muhammad Shollallaahu Alaihi Wasallam, para shohabat dan lain lainnya sampai disebutkan nama-nama para pahlawan seperti leluhurnya P. Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiyai Mojo, Jend. Sudirman dan para tokoh pahlawan semuanya.

Tepat jam 10.00 WIB, Mbah Malik (mursyid thariqah) diam sejenak dan setelah itu mengangkat tangan dan berdoa "Allohummaghfirlahuum warhamhuum...dst'. Sesudah itu, Habib Luthfi Yahya memberanikan diri dan bertanya kepada gurunya tersebut ada apa kiranya mbah berbuat semacam itu,
“Mbah Malik, wonten nopo ta (Maaf, ada apa mbah)?”

“nopo niki jam 10, niku nopo namine, Pak SuKarno, Pak Hatta rumiyin maos nopo (Ingat dulu, Jam 10 Bpak SoeKarno dan Pak Hatta baca apa)?” jawab Mbah malik dan juga bertanya untuk mengingatkan habib luthfi.

“Baca Proklamasi, Mbah,” kata Habib Luthfi Yahya.

“Ya leres niku, kitho niku madep mantep menghormati (ya benar itu, kita disini duduk sejenak untuk mengingat dan menghormati),” kata Mbah Malik.

Inilah bentuk penanaman Nasionalisme kepada muridnya, Habib Luthfi yahya yang sekarang Habib Luthfi juga intens terus untuk selalu mengingatkan kepada para warga Indonesia dimanapun berada untuk mencintai negara Kesatuan Indonesia. Ila Hadroti Mbah Malik dan para pahlawan lahumul Faatihah.







K.H. A. Mustofa Bisri : Amplop Abu Abu



KH.MUSTOFA BISRI
*AMPLOP ABU ABU*
oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan.Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.
Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.
Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.
Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.
Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.
Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri.Tak membekas.
Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.
Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.
Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.
Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.
Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.
Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.
Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.
Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.
Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.
Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.
Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.
Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.
Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?
Darimana dia mendapat informasi?
Atau dia selalu membuntutiku?
Tidak mungkin. Musykil sekali.
Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.
Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.
Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.
“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.
“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”
“Coba kau bawa kemari semua!"
Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.
“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.
Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.
“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.
Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.
“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”
“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.
“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.
Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.
Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.
“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.
Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.
Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.
Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:
“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.
”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.
”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.
”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.
Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.
”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.
Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.
Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.
Ah.Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.
Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.
Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.
Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.
“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.
“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.
Malah semuanya masih saya simpan.”“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.
“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”
“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaian
ku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.
Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,
“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.
“Lihat kemari, Pak!”
Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.
Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.
Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya
Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.
Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.
Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.
”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”
Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.
Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.
SubhanAllah!
.







Tradisi Jawa : Silsilah Keluarga

Dalam Keluarga Jawa biasanya anak menyebut orang tuanya dengan sebutan Bapak dan Ibu. Orang tua Bapak dan ibu disebut Eyang (Kakek/Nenek dlm bhs Indonesia). Orang tua Eyang disebut apa? dst.


Berikut adalah istilah untuk level keturunan (ke bawah) dan level leluhur (ke atas) sampai urutan ke-18 dalam Bahasa Jawa.

*URUTAN KE ATAS :*

Moyang ke-18. Eyang Trah Tumerah
Moyang ke-17. Eyang Menyo-menyo
Moyang ke-16. Eyang Menyaman
Moyang ke-15. Eyang Ampleng
Moyang ke-14. Eyang Cumpleng
Moyang ke-13. Eyang Giyeng
Moyang ke-12. Eyang Cendheng
Moyang ke-11. Eyang  Gropak Waton
Moyang ke-10. Eyang Galih Asem
Moyang ke-9. Eyang Debog Bosok
Moyang ke-8. Eyang Gropak Senthe
Moyang ke-7. Eyang Gantung Siwur
Moyang ke-6. Eyang Udeg-udeg
Moyang ke-5. Eyang Wareng
Moyang ke-4. Eyang Canggah
Moyang ke-3. Eyang Buyut
Moyang ke-2. Eyang (kakek/nenek dlm bhs Indonesia)
Moyang ke-1. Bapak/Ibu

*DILIHAT DARI POSISI KITA :*

Urutan ke bawah :
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu
Keturunan ke-3. Buyut
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udeg-udeg
Keturunan ke-7. Gantung siwur
Keturunan ke-8. Gropak Senthe
Keturunan ke-9. Debog Bosok
Keturunan ke-10. Galih Asem
Keturunan ke-11. Gropak waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menyo2
Keturunan ke-18. Tumerah

Monggo disimpen .. niki peninggalan leluhur yang nyaris terlupakan...





Kamis, 26 Juli 2018

Semua Anak Punya Kesempatan Untuk Sukses

*Tommy yang Bodoh*


*Di Ohio, Amerika Serikat pada tanggal 11 Februari 1847, lahir seorang anak bernama panggilan Tommy*

Dia lahir dengan kemampuan biasa-biasa saja, tidak memiliki kecerdasan khusus seperti anak-anak lainnya

Saat belajar di sekolah, kisah homeschooler, Tommy tidak mampu untuk mengikuti pendidikan yang dijarkan di sekolahnya

Oleh sebab itu , Tommy selalu mendapatkan nilai buruk dan mengecewakan

Sangat bodohnya anak ini dalam pandangan pihak sekolahnya, sehingga para guru memilih untuk ‘angkat tangan’ dalam usaha mendidik Tommy

Pada suatu hari, guru sekolah Tommy memanggil Tommy dan memberikan sepucuk surat kepadanya

Guru tersebut berpesan, "jangan buka surat ini di perjalanan, berikan kepada ibu mu”

Tommy kecil dengan gembira membawa surat itu pulang dan memberikan kepada ibunya

Menerima surat itu, ibu Tommy membacanya, lalu menangis

Sambil berurai air mata, dia membaca surat itu dengan suara keras : “Putra Anda seorang jenius

Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya

Agar anda mendidiknya sendiri,” ujar sang Ibu dengan suara lantang

Ibu Tommy lalu berkata kepada Tommy bahwa

“Kamu anak yang jenius nak, sekolah belum cukup baik untuk mendidik anak yang hebat seperti kamu. Mulai saat ini ibu yang akan mendidik kamu”

Ibunya kemudian menarik Tommy kecil ke rumah dan meninggalkan sekolah

Tommy menjalani pendidikan di rumah. Dengan demikian Tommy pun belajar dengan bebas dan leluasa di rumahnya tanpa harus memikirkan nilai-nilai pelajaran yang harus dicapainya

Di rumah, Tommy pun melahap buku-buku ilmiah dewasa

Satu karakter yang luar biasa yang dimiliki Tommy adalah keinginan tahunya yang luar biasa besar ditambah SIFAT DASARNYA YANG PANTANG MENYERAH MENGHADAPI APAPUN

Karena itu Tommy pun melakukan Eksperimen – eksperimen hebat
Sebelum memasuki Usia sekolah Tommy sudah berhasil membedah hewan-hewan, hal ini karena keinginan tahunya yang besar terhadap hewan-hewan di sekitarnya

Di usia 12 tahun, Tommy kecil sudah memiliki Laboratorium Kimia kecil di ruang bawah tanah rumah ayahnya

Setahun kemudian dia berhasil membuat telegraf yang sekalipun bentuk dan modelnya sederhana dan primitif tapi sudah bisa berfungsi

Kisah HOMESCHOOLER di usia nya yang masih belia, Tommy sudah bekerja dan mencari uang sendiri dengan berjualan koran di kereta api selama beberapa tahun. Kemudian Tommy bekerja sebagai operator telegraf, kemudian ; Tommy pun naik menjadi kepala mesin telegraf di Amerika

Saat usia Tommy 32 tahun, dunia tidak lagi gelap gulita ketika malam hari. Tommy yang dianggap BODOH waktu kecil itu BERHASIL MENCIPTAKAN BOHLAM LAMPU PIJAR, yang Mengubah Wajah Dunia selamanya

Jauh setelah Ibunya wafat dan Tommy telah menjadi Tokoh PENEMU PERTAMA.., suatu hari di rumah dia melihat-lihat barang lama keluarga...

Tiba-tiba dia melihat Kertas Surat terlipat di laci sebuah meja...
   
Dia membuka dan membaca isinya:

"Putra anda anak yang bodoh..

Kami tidak Mengizinkan anak Anda bersekolah lagi,”

demikianlah ISI SURAT YANG SESUNGGUHNYA yang diBawa dan diBerikan Tommy kepada ibunya, dahulu waktu sepulang sekolah

Tommy menangis berjam-jam setelah membaca surat itu...

Dia kemudian menulis di buku Diary-nya:

*"SAYA , THOMAS ALFA EDISON , ADALAH SEORANG ANAK YANG BODOH, YANG KARENA SEORANG IBU YANG LUAR BIASA, MAMPU MENJADI SEORANG JENIUS PADA ABAD KEHIDUPANNYA"*

Jika kita menikmati Lampu yang terang saat ini,

ingatlah bahwa Kita BERHUTANG Bukan pada Seorang Thomas Alfa Edison.., tetapi kepada SEORANG IBU yang melihat dengan CARA YANG BERBEDA.
Cara dari MATA KASIH ORANGTUA

Jika suatu hari nanti, Putra atau Putri anda mendapat,

“cap bodoh”, “cap nakal” , “cap lamban” atau cap lainnya,

yang sama seperti Thomas Alfa Edison kecil, maka Siapa yang akan anda Percayai ?

PERAN IBU YG LUAR BIASA  
PERAN GURU YANG BIJAK JUGA LUAR BIASA







MBAH DALHAR WATUCONGOL MUNTILAN MAGELANG

Mbah Dalhar, Seorang Pejuang Dan Cucu Panglima Perang Jawa

Jaringan ulama santri berjuang secara gigih dalam memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.
Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan. Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari, 2004).
Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang, dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami pembaca.
Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf, diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.
Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari 1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.
Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III. Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III (memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.
Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan Tuqo.
Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanera dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Muntilan.  Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar
Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syaikh selaam delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi’iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah.
Pada tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang oleh tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci.
Di tanah Hijaz, nama “Dalhar” menemukan sejarahnya, yakni pemberian dari Syaikh Sayyid Muhammad  Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.
Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama ‘alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten, dan Kiai Ahmad Abdul Haq.
Ketika mengaji di Makkah, secara istiqomah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci, sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta’dzim sekaligus sikap istiqomah Kiai Dalhar yang telah teruji.
Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab, di antaranya: Kitab Tanwir al-Ma’ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah. Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren-pesantren ternama. Di antara murid Kiai Dalhar, yakni Kiai Ma’shum (Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek.
Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Dalam catatan Ibad (2007: 31), Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur dan Kiai Arwani. Kemudian, mata rantai berlanjut, dari Kiai Ashari, Gus Miek membina hubungan dengan Kiai Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu) dan Kiai Hamid Kajoran. Lalu, dari Kiai Hamid Kajoran, Gus Miek berinteraksi dengan Mbah Juneid, Mbah Mangli dan Mbah Muslih Mranggen.
Perjuangan kebangsaan
Ketika era perjuangan melawan rezim kolonial, peran Kiai Dalhar tidak bisa dilupakan. Para pejuang di kawasan Magelang, Yogyakarta, Banyumas dan kawasan Bagelen-Kedu datang ke pesantren Kiai Dalhar untuk meminta doa. Oleh Kiai Dalhar, para pejuang diberi asma’, doa dan ijazah kekebalan, serta diberi bambu runcing yang telah diberi doa. Dikisahkan, ketika para pejuang menggempur Belanda di kawasan Benteng Ambarawa, dimudahkan oleh Allah dengan semangat dan kekuatan. Dorongan doa dan semangat yang diberikan Kiai Dalhar serta beberapa kiai lainnya, menambah daya juang para santri untuk bertempur mengawal kemerdekaan.
Pertempuran laskar santri dan pemuda melawan tentara sekutu, meletus pada 21 November 1945. Atas desakan laskar dan tentara rakyat, yang dikomando oleh Jendral Soedirman, tentara sekutu mundur ke Semarang. Namun, mundurnya Sekutu juga membuat ribut di Ambarawa, yang kemudian disebut Palagan Ambarawa. Pada perang ini, Laskar Hizbullah dari Yogyakarta dan kawasan sekitar, bersatu dengan beberapa tentara rakyat mengepung Ambarawa. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, tepatnya di kawasan Jambu dan Banyubiru.
Front Ambarawa dikepung dari beberapa penjuru. Kawasan Selatan dikepung pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga. Utara ditempati pasukan Kedu dan Ambarawa, dari sisi Timur hadir pasukan Divisi IV BKR Salatiga. Pihak Belanda dan tentara Sekutu bermarkas di Kompleks Gereja Margo Agung, serta pos militer di perkebunan. Laskar santri di bawah komando Bachron Edress berhasil mengakses front Ambarawa. Laskar-laskar santri dan pemuda yang bertempur di Ambarawa, sebagian besar sowan ke Kiai Dalhar Watucongol dan Kiai Subchi Parakan untuk minta doa sebelum bergerilya.
Mbah Kiai Dalhar mencatatkan sejarah dalam jaringan ulama Nusantara, sebagai rujukan keilmuan, perjuangan serta sufisme dalam tradisi pesantren. Kiai Dalhar wafat pada 23 Ramadhan, bertepatan dengan 8 April 1959. Jasad Kiai Dalhar dikebumikan di pemakaman Gunungpring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Kisah perjuangan dan keteladanan Kiai Dalhar menjadi bukti betapa penting jaringan ulama-santri dalam mengawal negeri, menjemput kemerdekaan Indonesia.(Munawwir Aziz)
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, Peneliti Islam Nusantara.
Sumber: www.nu.or.id
Referensi:
Carey, Peter. The Power of Propechy, Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV. 2007.
Djamhari, Saleh As’ad. Strategi Menjinakkan Dipanegara: Stelsel Benteng, 1827-1830. Depok: Komunitas Bambu. 2004.
Hadi, Murtadho. Jejak Spiritual Abuya Dimyathi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2009
__________________. Suluk Jalan Terbatas Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007.
Ibad, Muhammad Nurul. Pelajaran dan Ajaran Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007
Tim Buku PWNU Jawa Timur. Peranan Ulama Pejuang Kemerdekaan. Surabaya: PWNU Jawa Timur.
Thomafi, Muhammad Luthfi. Mbah Ma’shum Lasem. Yogykarta: LKIS. 2007
YOU MIGHT ALSO LIKE
COMMENTS