Tampilkan postingan dengan label Santri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Santri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Januari 2019

Kisah Teladan : Birrul Walidain / Berbhakti Kepada Kedua Orang Tua




_*Pentingnya Berbakti Kepada Orang Tua*_

Kebaikan dan ajaran untuk berbakti kepada orang tua telah disebutkan dalam al Qur’an dan hadits, sebagaimana tercantum dalam hadits yang berikut ini:

“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika ingin, engkau bisa menyia – nyiakannya atau jagalah ia” begitulah sabda yang diucapkan Rasulullah SAW mengenai keutamaan berbakti kepada orang tua.

Pentingnya berbakti kepada orang tua juga tercantum dalam ayat berikut :

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun. Dan berbuat baiklah kepada ibu dan bapakmu” (An-Nisa 4:36)

Kisah – Kisah Teladan Berbakti Kepada Orang Tua
Telah banyak kisah – kisah teladan yang menceritakan bagaimana mulianya jika kita menunjukkan bakti yang sangat besar kepada orang tua. Berikut ini ada beberapa kisah yang bisa kita simak, yaitu:

1. Kisah Pertama

Dalam ajaran Islam, peran ibu dalam keluarga lebih dimuliakan daripada peran ayah dalam keluarga tanpa mengecilkan peran ayah tentunya. Simaklah salah satu kisah ini:

Ibnu Umar suatu hari melihat seseorang sedang melaksanakan tawaf sambil menggendong ibunya. Orang itu kemudian bertanya kepada Ibnu Umar, apakah dengan begitu dia sudah membalas budi kepada ibunya. Ibnu Umar menjawab, bahwa belum setitikpun kasih ibunya terbalas walaupun sebanyak satu erangan saja ketika melahirkannya. Akan tetapi karena dia sudah melakukan perbuatan baik, maka Allah akan memberi balasan padanya terhadap sedikit amal baik yang dia lakukan. (Kitab Al Kabair, karya Adz Dzahabi)

2. Kisah Kedua

Pendidikan agama dalam keluarga akan membantu pribadi anak agar terbentuk menjadi orang yang soleh dan taat kepada agama serta menghormati orang tua.

Kisah ini tentang Ali bin abi Thalib yang sangat menghormati ibunya. Orang lainpun tahu akan hal tersebut. Suatu ketika, ada orang yang bertanya mengapa ia tidak pernah terlihat makan bersama ibunya. Ali menjawab bahwa ia takut mendurhakai ibunya kalau sampai mengambil makanan yang telah dilirik oleh sang ibu. (Kitab Uyunul Akhyar, Ibnu Qutaibah)

3. Kisah Ketiga

Adab terhadap orang tua yang benar ditunjukkan dalam kisah berikut ini:

Abu Hurairah yang tinggal berbeda rumah dengan ibunya, selalu menyempatkan diri untuk berdiri di depan pintu sang ibu dan mengucapkan “Keselamatan  dan rahmat Allah serta barokahnya untukmu wahai ibuku”. Kemudian dijawab oleh sang ibu “Dan keselamatan serta rahmat Allah serta barokahnya untukmu wahai anakku”. Lalu setelah itu Abu Hurairah berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena telah mendidikku sejak kecil.” Lanjut ibunya membalas “Dan semoga Allah memberi rahmat kepadamu karena telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Hal yang sama juga dilakukan oleh Abu Hurairah saat dirinya akan memasuki rumah. (Kitab Adab Al – Mufrad, Imam Bukhari).

4. Kisah Keempat

Jika kita belajar memberi penghormatan yang sepantasnya kepada orang tua, maka kita juga akan mengetahui bagaimana cara menghargai orang lain dengan benar.

Cerita berikut dari Ibnu Mas’ud, sahabat Nabi. Suatu malam ibunya meminta air minum kepada Ibnu Mas’ud. Ketika dibawakan, ternyata ibunya sudah tertidur. Ibnu Mas’ud lalu memegang gelas berisi air itu sampai pagi, menunggu ibunya terbangun. (Kitab Birrul Walidain, Ibnu Jauzi).

5. Kisah Kelima

Kisah ini tentang seseorang yang tahu cara menghormati orang tua dengan baik:

Kisah ini diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah. Ada seorang yang ketika pulang ke rumah dari bepergian, dia melihat ibunya sedang shalat. Karena segan duduk sementara ibunya mengerjakan shalat, maka ia berdiri menunggu sampai ibunya selesai. Ketika ibunya tahu kalau ia menunggu, maka dipanjangkan shalatnya oleh sang ibu agar sang anak mendapat pahala yang semakin besar. (Kitab Birrul Walidain, Ibnu Jauzi)

Jumat, 03 Agustus 2018

Kiai Bahar Santri Kiai Kholil Bangkalan Madura

#hikayat
KIAI BAHAR SIDOGIRI: MEMBUAT SYAIKHONA KHOLIL MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 TURUN DARI KETURUNANNYA HARUS MONDOK DI SIDOGIRI





Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.
Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.
“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.
Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.
“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.
Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”
“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.
“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.
Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang beliau alami. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”
Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.
“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.
Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.
Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”
Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.
Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.
“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.
Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.
Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.
“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.
Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.
“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).” Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.
Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Karena usianya yang sangat muda beliau Kiai Bahar dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”.
Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”