Tampilkan postingan dengan label Nadir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nadir. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Oktober 2018

Gus Nadir : Bendera Rasul / Rayah Rasul


Gus Nadir: Bendera ISIS dan HTI bukan Bendera Islam, bukan Bendera Rasul!

ISIS dan HTI sama-sama mengklaim bendera dan panji yang mereka miliki adalah sesuai dengan Liwa dan rayah-nya Rasulullah. Benarkah? enggak! Kalau klaim mereka benar, kenapa bendera ISIS dan HTI berbeda design dan khat tulisan arabnya? Ayoooo 🙂
Secara umum hadits-hadits yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas shahih. Riwayatnya pun berbeda-beda: ada yang bilang hitam saja, ada yang bilang putih saja, ada riwayat yang bilang hitam dan putih, malah ada yang bilang merah dan juga kuning. Riwayat lain bendera itu gak ada tulisan apa-apa. Jadi gak ada tulisan tauhidnya, cuma kosong saja. Riwayat lain bilang ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian. Secara umum tidak berkualitas sahih.
Dalam sejarah Islam juga kita temukan fakta yang berbeda lagi. Ada yang bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai hitam, dan pernah juga berwarna putih. Apa mau bilang para Khalifah ini tidak mengikuti bendera Rasul? Ribet kan!
Jadi yang mana bendera khilafah? Yah tergantung anda mau merujuk ke Khilafah Umayyah atau Abbasiyah? Gak ada hal yang baku soal bendera ini. Coba saja buka kitab Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Mawardi: apa ada pembahasan soal bendera negara Khilafah? Enggak ada! Kenapa yang gak ada terus mau diada-adakan seolah menjadi urusan syariat? Mau bilang Imam al-Mawardi gak paham soal ini? Nah, tambah ribet kan!
Konteks bendera dan panji dipakai Rasul itu sewaktu perang untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah, emangnya kalian mau perang terus? Kok kemana-mana mengibarkan bendera perang?
Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera merah putih. Masak ada negara dalam negara?! Ini namanya makar! Bahkan ada tokoh HTI yang mempertanyakan apa ada haditsnya bendera RI yang berwarna merah-putih? Nah kan, kelihatan makarnya, sudah mereka tidak mau menerima Pancasila dan UID 1945, sekarang mereka juga menolak bendera merah-putih. Jadi, yang syar’i itu bendera HTI, begitu maunya mereka, padahal urusan bendera ini bukan urusan syari’at.
Sekarang bagaimana status hadits soal bendera ini? Kita bahas singkat saja biar gak makin ribet membacanya.
Hadits riwayat Thabrani dan Abu Syeikh yang bilang bendera Rasul hitam dan panjinya putih itu dhaif. Mengapa demikian? Riwayat Thabrani ini dhaif karena ada rawi yang dianggap pembohong yaitu Ahmad bin Risydin. Bahkan kata Imam Dzahabi, dia pemalsu hadits.
Riwayat Abu Syeikh dari Abu Hurairah itu dhaif karena kata Imam Bukhari rawi yang namanya Muhammad bin Abi Humaid itu munkar.
Riwayat Abu Syeikh dari Ibn Abbas menurut Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, sanadnya lemah sekali.
‎وجنح الترمذي إلى التفرقة فترجم بالألوية وأورد حديث جابر ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة ولواؤه أبيض ” ثم ترجم للرايات وأورد حديث البراء ” أن راية رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت سوداء مربعة من نمرة ” وحديث ابن عباس ” كانت رايته سوداء ولواؤه أبيض ” أخرجه الترمذي وابن ماجه ، وأخرج الحديث أبو داود ، والنسائي أيضا ، ومثله لابن عدي من حديث أبي هريرة ، ولأبي يعلى من حديث بريدة ، وروى أبو داود من طريق سماك عن رجل من قومه عن آخر منهم ” رأيت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم صفراء ” ويجمع بينها باختلاف الأوقات ، وروى أبو يعلى عن أنس رفعه ” أن الله أكرم أمتي بالألوية ” إسناده ضعيف ، ولأبي الشيخ من حديث ابن عباس ” كان مكتوبا على رايته : لا إله إلا الله محمد رسول الله ” وسنده واه
Kalau sudah Ibn Hajar yang komentar soal hadits, HTI dan ISIS mau ngeles apa lagi? Jangan marah sama saya, saya hanya mengutip pendapat Ibn Hajar yang otoritasnya dalam ilmu Hadits sangat diakui dalam dunia Islam. Kalau ada ulama yg menyatakan hadits Abu Syeikh ini sahih, ya silakan saja. Saya lebih percaya dengan Ibn Hajar daripada dengan ulama HTI.
Komentar Ibn Hajar di atas itu telak sekali. Semoga ini membuka mata para kader HTI, yang sudah dibubarkan pemerintah itu. Bendera HTI dan juga ISIS tidak memliki landasan yang kuat. Tidak ada perintah Rasulullah untuk kita mengangkat bendera semacam itu; tidak ada kesepakatan mengenai warnanya, dan apa ada tulisan atau kosong saja, dan tidak ada kesepakatan dalam praktek khilafah jaman dulu, serta para ahli Hadits seperti Ibn Hajar menganggap riwayatnya tidak sahih.
Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu berbeda dengan di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul, tulisan al-Qur’an belum ada titik, dan khatnya masih pra Islam yaitu khat kufi. Makanya meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kenapa ayo? Kan sama-sama mengklaim bendera Islam? Itu karena tulisan khat-nya rekaan mereka saja. Gak ada contoh yang otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits-hadits yang tidak sahih
Jadi jangan mau dibohongin yah sama bendera Islam-nya HTI dan ISIS.
Perkara ini bukan masuk kategori syari’ah yg harus ditaati. Gak usah ragu menurunkan bendera HTI dan ISIS. Itu bukan bendera Islam, bukan bendera Tauhid.
Tapi ada tulisan tauhidnya? Masak kita alergi dengan kalimat tauhid? Itu hanya akal-akalan mereka saja. Untuk mengujinya gampang saja, kenapa HTI gak mau mengangkat bendera ISIS dan kenapa orang ISIS tidak mau mengibarkan bendera HTI padahal sama-sama ada kalimat Tauhid-nya? Itu karena sifat sebuah bendera di masa modern ini sudah merupakan ciri khas perangkat dan simbol negara. Misalnya warga Indonesia tidak mau mengangkat bendera Belanda atau lainnya. Bukan karena benci dengan pilihan warna bendera mereka, tapi karena itu bukan bendera negara kita.
Bendera itu merupakan ciri khas sebuah negara. Apa HTI dan ISIS mau mengangkat bendera berisikan kalimat Tauhid yang khat dan layout-nya berbeda dengan ciri khas milik mereka? Atau angkat saja deh bendera Arab Saudi yang juga ada kalimat Tauhidnya. Gimana? Gak bakalan mau kan. Karena bendera sudah menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI.
Itu sebabnya Habib Luthfi bin Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal bendera ini.
Saya ikut pendapatnya Imam Ibn Hajar dan ikut sikap Habib Luthfi.
Tabik,

https://bangkitmedia.com/gus-nadir-bendera-isis-dan-hti-bukan-bendera-islam-bukan-bendera-rasul/  

Jumat, 06 Juli 2018

Gus Nadir (Prof. Nadirsyah Hosen) : Islam Nusantara Menuju Islam Global

Islam Nusantara: Islam Lokal yang Menuju Islam Global?



Nadirsyah Hosen


(Kolom Majalah Gatra edisi 25 Februari 2016)

Setelah gagal merumuskan secara serius konsep Islam Nusantara dalam pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 yang gaduh tahun lalu, diskursus Islam Nusantara kembali menggeliat. Penolakan sejumlah pihak dan juga ketidaksepakatan internal di kalangan pendukung Islam Nusantara memaksa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar ke 33 dan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur menggelar diskusi untuk merumuskan konsep Islam Nusantara pekan lalu.

Di saat beredar rumusan hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur melalui broadcacst di smartphone, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo mengirimkan pesan kepada saya, “…Apa yang disebut Islam Nusantara
tidak boleh melampaui wilayah [Syariat]. Maka tidak semua ajaran Islam bisa dinusantarakan.” Pandangan Kiai Afif yang terkenal luwes, fleksibel tapi tetap berpegang pada kaidah fikih ini menyiratkan masih ada persoalan penting yang belum selesai dibahas para pendukung Islam Nusantara.

Sejatinya pendukung dan penolak Islam Nusantara menggelorakan kembali perdebatan klasik soal Islam dan budaya, khususnya pada pertanyaan, “Islamisasi Jawa atau Jawanisasi Islam.” Apakah budaya Jawa yang telah berhasil di-Islamkan sehingga praktek-praktek yang bertentangan dengan Syariat telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran Islam, ataukah yang terjadi itu masuknya budaya Jawa ke dalam praktek ritual Islam sehingga ekspresi dan praktek Islam di Jawa berbeda dengan di tempat lain akibat terpengaruh unsur-unsur non Islami?

Bagi penolaknya, Islam Nusantara dianggap berusaha melegitimasi praktek budaya yang bertentangan dengan Islam. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara dimaknai sebagai Islam yang ramah terhadap budaya lokal. Bagi penolaknya, Islam Nusantara berada pada wilayah akidah yang seharusnya tanpa kompromi. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara berada pada wilayah fikih yang fleksibel. Bagi penolaknya, praktek kejawen, misalnya, dianggap penyimpangan. Bagi pendukungnya, praktek kejawen dianggap kekayaan budaya yang layak diapresiasi. Sampai di sini, bagi penolaknya, Islam Nusantara itu paham yang salah. Bagi pendukungnya, penolakan terhadap Islam Nusantara itu karena salah paham.

Terlepas dari perdebatan istilah yang dipilih, secara substansi Islam Nusantara sebenarnya kelanjutan dari ide pribumisasi Islam yang dilontarkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian diteruskan Ketum PBNU berikutnya, KH Hasyim Muzadi, dalam bentuk menolak gerakan Transnasional Islam sebagai gerakan Islam import yang tidak cocok dengan budaya Indonesia, dan kemudian KH Said Aqil Siradj melanjutkan gagasan pendahulunya dengan menyodorkan Islam Nusantara. Dari sudut keilmuan, Islam Nusantara ini kelanjutan dari gagasan Prof Hazairin akan mazhab nasional dan ide Fikih Indonesia dari Prof Hasbi As-Shiddieqy beberapa dekade silam.

Islam Nusantara dimunculkan di tengah meluasnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Sebagaimana jamak diketahui, ISIS mencitrakan Islam yang murni, keras dan barbar. Dikhawatirkan ideologi semacam itu akan masuk pula ke tanah air. Harus ada penegasan kembali akan corak islam di tanah air yang berbeda dengan ISIS dan selama ini telah terbukti menebarkan kedamaian di tanah air selama berabad-abad.

Singkatnya, proyek deradikalisasi butuh ideologi tandingan. Itusebabnya ide Islam Nusantara disambut baik oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Presiden Jokowi pun menyambut baik Islam Nusantara karena telah menjadi ‘benteng’ dan ‘banteng’ bagi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI.

Pendukung Islam Nusantara melangkah lebih jauh dengan bermaksud mempromosikannya ke dunia Islam. Islam Arab yang penuh konflik diusulkan untuk mengadopsi Islam Nusantara yang ramah dan toleran.

Tapi benarkah Islam Nusantara akan laku di dunia Arab? Jikalau yang hendak dipromosikan itu adalah produknya bukan metodenya maka dapat dipastikan Islam Nusantara tidak akan laku di belahan dunia lain.

Jangankan Islam Nusantara, Nahdlatul Ulama saja hanya kuat di daerah Jawa. Nahdlatul Ulama belum mendunia seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Isu yang diangkat oleh gerakan transnasional Islam itu adalah isu global sehingga bisa menyebar ke berbagai belahan dunia, sedangkan isu yang diangkat dan direspon oleh Nahdlatul Ulama adalah isu budaya lokal khususnya Jawa. Bagaimana kemudian lokalitas Islam Nusantara mau diangkat ke dunia global?

Modal terbesar Islam Nusantara mau berkiprah di dunia global adalah jumlah Muslim Indonesia terbesar di dunia. Akan tetapi Arab Saudi mendeklarasikan dirinya sebagai pelayan dua tanah suci, Turki merasa mewakili dunia Islam karena merekalah kekhalifahan terakhir, sementara Mesir sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi pusat studi Islam lewat Universitas al-Azharnya, lantas apa yang dimiliki Islam Nusantara?

Kalau Islam Nusantara menganggap tidak mengapa Salat memakai blangkon, namun apa mau orang Arab mengganti surbannya dengan blangkon? Gamisnya dengan sarung dan nasi kabuli dengan nasi uduk? Mempromosikan Islam Nusantara akan dianggap memasukkan budaya luar ke dunia Arab. Ini jelas musykil karena sejarah, politik dan sosial budayanya jelas berbeda. Ini bukan lagi sekedar salah paham vs paham yang salah, tapi sudah gagal paham.

Yang justru sedang mengglobal saat ini adalah Bank Islam dan Sertifikat Halal. Dunia Barat pun telah mengadopsinya. Di tanah air, keduanya sudah puluhan tahun digarap lebih dulu oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Maka tantangannya, selain istighatsah, tahlilan dan ratiban, apa program NU yang bisa dipromosikan ke dunia luar sebagai contoh produk Islam Nusantara?

Sebaiknya yang dipromosikan itu adalah manhaj Islam Nusantara, yaitu Islam yang mengakomodir budaya lokal. Itupun agak susah menembus dunia Arab karena budaya Arab sudah sukar dipisahkan dalam praktek keislaman mereka sehari-hari. Manhaj Islam Nusantara justru punya potensi untuk berkembang di dunia Barat. Maka lewat manhaj tersebut akan muncul Islam Australia, Islam Amerika atau Islam Eropa –yaitu pemahaman Islam yang sesuai dengan budaya lokal dimana Muslim berada, bukan dengan memasukkan budaya nusantara ke Eropa, Amerika atau Australia.

Justru sekarang ini pemerintahan di dunia Barat sedang pusing dengan perilaku Muslim yang masih saja tidak mau membaur dengan budaya setempat dan menonjolkan budaya negeri asal masing-masing. Islam Nusantara tidak perlu menambah kepusingan ini dengan mempromosikan dakwah melalui selametan, wayang, dan ketoprak ke dunia barat. Manhaj Islam Nusantara sebaiknya mempromosikan perlunya “fikih minoritas” untuk dijadikan pegangan bagi Muslim yg tinggal di dunia Barat.

Gelombang pengungsi Iraq dan Syria yang melanda Eropa misalnya menimbulkan problem sosial. Ada kekhawatiran bahwa para pengungsi dan imigran akan mengubah negara-negara Eropa menjadi negeri Islam. Dunia barat pun mengeluh: “mereka pindah ke sini karena negeri mereka yang berdasarkan Islam kacau balau, lantas kenapa mereka hendak mengislamkan negeri kami yang aman dan nyaman? Nanti kalau negeri kami sudah mereka islamkan, negeri kami akan kacau balau persis seperti negeri asal mereka”. Di sinilah pemahaman fikih yang lentur dan fleksibel bisa memberi pemahaman bahwa “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.

Sekali lagi, yang dipromosikan itu adalah bagaimana budaya lokal –dimanapun berada– bisa berinteraksi positif dengan ajaran Islam. Itulah hakikat Islam Nusantara: bukan sekedar Jawanisasi Islam vs Islamisasi Jawa, atau Islamisasi Eropa versus Eropanisasi Islam. Karena itu semua masih mengandaikan budaya impor vs budaya inferior, sehingga persoalannya menjadi budaya mana yang menang atau kalah.

Sejatinya, peradaban manusia ini merupakan proses interaksi dan akulturasi beragam budaya. Agama, bersama nilai-nilai sosial lainnya, menjadi kawan yang berjalan seiringan demi menggapai negeri yang gemah ripah loh jinawi dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Islam Nusantara hanyalah salah satu manhaj menuju ke sana. Semoga.

Link: http://nadirhosen.net/kehidupan/ummat/islam-nusantara-islam-lokal-menuju-islam-global