Tampilkan postingan dengan label Kyai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kyai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Februari 2019

Hari Kelahiran Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari






14 FEBRUARI ADALAH TANGGAL LAHIR HADRATUSY SYAIKH KH MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI

14 Februari 1871 M, adalah hari lahir pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari.

Mari kirim al-fatikhah utk beliau, .
Ila ruhi Simbah KH HASYIM ASY'ARI wa zawjatihi wa dzurriyahitihi wa furu’ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya Allah ... wa muhibbihi ya Allah... syaiun lillahi lana wa lahum Al Fatihah...

Ingatkah Anda? Hari Lahir “Sang Kiai” Tertutup Euforia Valentine?

Tanggal 14 Februari adalah hari yg pada umumnya muda-mudi di seluruh dunia, khususnya negara2 barat, memperingati Valentine Day, hari kasih sayang. Valentine Day adalah hari untuk memperingati kematian J. Valentine, seorang pastur yg mati dibunuh karena tidak bisa berpisah dgn kekasihnya setelah melakukan hubungan terlarang. Naudzubillah.

Kalau kita membaca sejarah Islam di Indonesia, 14 Februari juga adalah hari yg bersejarah bagi rakyat Indonesia, khususnya kalangan kaum pesantren dan pengikut jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Kenapa demikian? Karena tercatat dalam sejarah, tokoh sentral pendiri NU sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Jombang, Hadratusyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal itu, Selasa Kliwon, 24 Dzul Qo’dah 1287 H, bertepatan dgn tanggal 14 Februari 1871 M. (Profil Pesantren Tebuireng, Pustaka Tebuireng: Jombang, 2011, cetakan pertama, hal. 38)

Tidak diraguan lagi, peranan Beliau sangat penting sekali bagi perkembangan agama Islam di Indonesia. Beliau mendirikan Pesantren Tebuireng pada tahun 1899 M. dimana hampir sebagian besar pondok Pesantren di Jawa dan Sumatera lahir dari rahim Pesantren Tebuireng dan kyai2nya yg pernah nyantri kepada Mbah Hasyim.

Selain itu, Hadratusyaikh juga berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau mengajak para santrinya untuk berjuang melawan penjajah. Menurut Beliau, berjuang melawan penjajah hukumnya fardlu ‘ain, wajib bagi setiap orang muslim Indonesia.

Pada tanggal 22 Oktober 1945 M, beliau mengeluarkan fatwa jihad yang isinya.

“Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius 88 KM. Perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah. Oleh karena itu orang Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid…” (dikutip dari film Sang Kiai).

Fatwa jihad ini kemudian dikenal dgn istilah Resolusi Jihad. Perjuangan Hadratusyaikh dalam membela tanah air tercermin dalam film SANG KIAI, sebuah film perjuangan yang diproduksi oleh Rapi Films pada tahun 2013.

Oleh sebab itu, sebagai muslim Indonesia khususnya Nahdliyin, tidak perlu ikut2an untuk merayakan hari valentine. Karena disamping tidak ada manfaatnya untuk rakyat Indonesia, dikhawatirkan juga akan mengurangi nilai keimanan seorang muslim. Justru sebaliknya kita seharusnya memperingati 14 Februari sebagai hari ulang tahun Hadratusyaikh, dgn cara2 yg bermanfaat.

www.tebuireng.online

#NahdlatulUlama
#GMNUCyberTeam




Rabu, 30 Januari 2019

Ngaji Tasawuf



• BEBERAPA MAU'IDZOH SYAIKH Prof. Dr. IBRAHIM AL- HUD HUD •

    Dalam kunjungan beliau di PP Al-Anwar Sarang Rembang, pada hari rabu tgl 19 desember 2018 M yang bertepatan pada bulan Robiul Akhir tgl 11 tahun 1440 H, beliau menyempatkan memberikan pesan-pesan dan nasihat tentang tasawwuf yang dinyatakan bid'ah oleh kelompok ekstrim Wahabi dihadapan para santri, sehingga kita bisa selamat dari paham-paham mereka yang membahayakan. Adapun mawa'idz yang beliau sampaikan adalah sebagai berikut :

 1.) Apa itu tasawwuf...? Tasawwuf adalah tiga kalimat yaitu :

"الشريعة باب والطريقة آداب والحقيقة لباب"

"Syariat adalah pintu utamanya, dan toriqoh adalah adabnya, sedangkan haqiqat adalah inti sarinya"

2.)Tasawwuf merupakan sebuah pendidikan ruh dan jiwa bukan hanya pada aqal dan jasad saja, karna aqal bisa sesat dan jasad bisa mati.

3.) Muslim sejati ialah muslim yang mentarbiyah (mendidik) aqal, jasad, ruh, dan jiwanya dari kema'siyatan, hawa nafsu, dunia, dan keburukan-keburukan yang lain. Orang yang tidak beragama biasanya hanya mementingkan akal dan jasadnya, berbeda jauh dengan seorang mu'min sejati yang berusaha untuk menggodok empat hal tsb, seperti yang diisyaratkan oleh ayat "قد أفلح من زكاها"

4.)Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh RA bahwa suatu ketika Malaikat Jibril pernah menemui Nabi Muhammad SAW dengan bentuk seorang laki-laki yang sangat rapi dan putih, berambut hitam yang bersih dan tak tampak bekas-bekas safar pada dirinya. Lalu ia duduk dihadapan Nabi dengan sopan yakni duduk seperti orang tasyahud dengan meletakkan kedua telapak tanganya diatas pahanya sebagaimana yang semestinya dilakukan seorang murid dihadapan gurunya. Kemudian ia bertanya kepada Nabi SAW tentang islam, iman dan ihsan. Hadis ini merupakan bentuk global dari tiga Qoidah tsb yakni الشريعة باب والطريقة آداب والحقيقة لباب.

5.) Pertama orang yang hendak masuk kedalam tasawwuf maka ia harus mengatur syariatnya dengan mengerjakan sholat zakat puasa haji seperti yang disinggung diawal hadis, dimana malaikat jibril bertanya kepada Nabi SAW mengenai islam. Kedua yaitu thoriqoh yang dididik langsung oleh syaikh kalian yakni Syaikh Maemoen Zubair beliau mendidik, mengarahkan, membimbing kalian hingga bisa wushul kepada Alloh SWT, dengan mencintai Nabi Muhammad SAW melebihi cinta kalian kepada diri kalian sendiri, kepada orang tua kalian dan kepada seluruh manusia, seperti yang dijelaskan pada hadis :

"لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين"

"Tidaklah sempurna iman kalian sehingga aku lebih kalian cintai daripada orang tua kalian, anak kalian, dan semua manusia"

Sehingga ketika kalian telah mengumpulkan semua bentuk cinta kepada baginda Nabi SAW maka sempurnalah iman kalian dan kalian bisa mencapai maqom ihsan atau haqiqat.

6.)Jadi haqiqot bukan sebuah karomah-karomah besar namun ia adalah maqom ihsan. Sehingga ketika seseorang membaca ayat tentang Nabi Muhammad SAW maka seakan-akan ia melihat baginda Nabi Muhammad SAW, ketika ia membaca ayat-ayat tentang peperangan yang dilakukan oleh baginda Nabi seperti badar, uhud , ahzab dll maka seakan-akan ia melihat peperangan itu didepan matanya, dan ketika ia membaca ayat tentang surga dan neraka maka ia seakan- akan melihatnya langsung.

7.)Orang yang telah mencapai maqom ihsan tak akan tergoda dengan dunia dan kenikmatannya.

8.) Karomah hanya bagi Auliya' (wali-wali Alloh) agar para muridnya mempercayainya sehingga mereka bisa mengikuti jejak dan petuahnya.

9.) Disebutkan dalam Sohih Bukhori bahwa Rosululloh SAW pernah khutbah didepan para sahabat namun kemudian beliau berdiri mengulurkan tangannya seakan akan beliau hendak mengambil buah yang ada didepanyya. Lantas para sahabat bertanya perihal tsb. Lalu Rosululloh SAW menjawab ; aku ingin mengambil buah yang ada didepanku. Didalam hadis lain dterangkan Rosululloh SAW mendengar suara sandal Sahabat Bilal disurga lantas beliau bertanya kepada Bilal, apa amalanmu hingga suara sandalmu sampai terdengar disurga. Lalu Sahabat Bilal menjawab aku hanya melaksanakan sholat dua rakaat setelah wudlu wahai Rosululloh. Jawab bilal. Inilah yang dinamakan maqom ihsan yakni,

"أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم يكن تراه فإنه يراك"

10.) Inilah qoidah pokok tasawwuf yakni syariat adalah pintu, thoriqot adalah adab. Dan haqiqot adalah inti. Semoga Alloh SWT memberikan manfaat apa yang kalian dengar pada majlis ini dan semoga Alloh memberkahi majlis ini.

Wassalamualaikum wr wb.

📷 : kunjungan Syaikh Prof. Dr. Ibrohim al-Hud Hud bersama Masyayikh Al-Azhar lainnya.

Sarang 11 Robiul Akhir 1440 H

Follow juga ig @Serambi_Sarang

#Serambi_Sarang
#As_Saraniy
#Al_Azhariy

Jumat, 24 Agustus 2018

Al-Zastrouw : Kesabaran dan Doa



Muhasabah Kebangsaan:
KESABARAN DAN DO'A
Al-Zastrouw

Akhir-akhir ini makin marak tudingan kafir, musyrik, munafiq, dan berbagai caci maki keji lainnya ditujukan kepada sesama muslim, hanya karena beda pilihan politik dalam pilkada.

Anehnya tudingan tsb dilakukan oleh orang2 yg selalu menaggembar gemborkan ukhuwah Islamiyah, persatuan sesama muslim dan mengaku pembela agama.

Tapi anehnya, org2 yg menerima tuduhan keji dan caci maki itu tetap diam dan tidak membalas dengan caci maki atau menggalang massa padahal sebenarnya mereka bisa melakukan itu dan menggunakan ayat2 suci untuk membuat counter gerakan.

Paling-paling mereka hanya membalas dengan menunjuk bbrp ayat dan tafsir serta pemikiran ulama yg menjadi dasar mereka bersikap beda dengan org2 yg menuduh kafir dan munafiq itu.

Meski sudah dijelaskan ayat dan tafsirnya namun kelompok caci maki itu belum puas. Mereka tetap merasa bahwa pikiran dan tafsir agamanya yg paling benar.

Jangankan menerima perbedaan tafsir, mrk justru membuat serangan yg lebih gencar dan dahsyat lagi.  Bahkan kaum benar sendiri ini tidak segan2 menghujat dan menista ulama2 yg menjadi panutan  org2 yg mereka dituduh kafir dan munafiq itu.

Para ulama ini di tuduh sebagai ulama bayaran, ulama suu', ulama bodoh, tdk panya kapasitas. Seolah2 ulama2 ini lebih bodoh dari penceramah di TV yg hanya pandai merangkai kata dan mengutip terjemahan ayat yg kemudian mereka anggap sbg ulama.

Akibatnya mereka semakin dahsyat mengeksplotir ayat, bahkan tega melakukan intimidasi pd sesama dengan menggunakan simbol agama.

Diam2 aku merasa  kagum dan semakin hormat pada mereka2 yg menerima tuduhan keji tersebut.

Biar dituduh kafir, munafiq dan penjual iman tapi saya belum pernah melihat mereka membalas dengan tuduhan yg sama  kepeda org2 yg telah menistanya.

Kalau demikian sy jd berpikir siapa yg sebenarnya tdk menjaga ukhuwah Islamiyah, siapa yg memecah belah ummat?

Mereka yg menuding sesama muslim dg tuduhan kafir itu, atau mereka yg tetap sabar menerima hujatan dan tuduhan nista demi keutuhan ummat?

Memang tidak mudah menjaga keberagaman dan persaudaraan di tengah tarikan kepentingan politik.

Memang tidak mudah bersikap sabar menghadapi berbagai tudingan kafir dan penistaan serta fitnah keji yg dilakukan oleh saudara sendiri.

Tapi itu harus dilakukan demi menjaga keutuhan ummat dan negeri ini. Dan saya yakin keihlasan saudara2ku ini akan menjadi benteng yg kokoh unt menghadapi fitnah dan tuduhan keji ini sehingga mereka tdk mudah hanyut dan larut dalam  susana yg penuh ketegangan ini.

Saya berharap saudara2ku yg menerima tuduhan keji ini tetep bersikap baik dan  mendoakan mereka dengan doa yg baik.

Jangan doakan org yg telah menudingmu kafir dan munafik itu menjadi org yg celaka, susah rejekinya, masuk ke neraka, dicoba dg berbagai kesulitan, diazab Allah di dunia dan akherat dan berbagai doa buruk lainnya.

Doakanlah mereka agar terbuka pikirannya sehingga bisa menerima perbedaan dg lapang dada agar tidak mudah mengkafirkan sesama.

Doakanlah mereka agar tdk terjebak dalam kesombongan iman yg membuat  mereka lupa diri,  riya' dan sombong

Saya yakin jika saudara2ku yg dinista dengan tuduhan kafir, munafiq dan berbagai caci maki yg keji ini bisa tetap sabar dan ikhlas, maka keutuhan bangsa ini akan tetap terjaga,. Keberagaman akan terlindungi, bangsa dan negara NKRI akan lestari dan Islam rahmah yg penuh dg akhlakul karimah akan terujud di sini.

Akhirnya saya hanya mampu berdoa semoga ketabahan dan keikhlasan saudaraku2 dalam menghadapi caci maki dan tuduhan keji ini bisa menjadi amal shaleh yg akan membawa ke surga

Kesejukan dan Kedamaian selalu kurindu


🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏




Jumat, 17 Agustus 2018

K.H. A. Wahab Chasbullah : Qurban Sapi Untuk Delapan Orang




Ketika Mbah Wahab Hasbullah Memperbolehkan Kurban Sapi untuk Delapan Orang

Alkisah seorang menghadap Al Maghfurlah KH Bisri Syansuri Denanyar. Kepada Mbah Bisri dia mengadu, betapa ingin berkurban bersama dengan kakak-adiknya yang berjumlah 8 orang dengan seekor lembu. Tapi bukankah sapi hanya boleh diserikati tujuh shahibul qurban saja?

"Ya gimana ya", ujar Mbah Bisri. "Satu sapi itu menurut fekihnya hanya untuk bertujuh itu."

"Jadi meski adik saya yang paling kecil itu masih agak kecil, ndak boleh berdelapan Mbah?"

Mbah Bisri yang terkenal amat teguh memegangi dalil itu menggeleng lemah.

"Meski sapinya gemuk?"

Dengan senyum prihatin, Mbah Bisri tetap menggeleng.

"Padahal kami ingin seperti wasiat almarhum Bapak dan Ibu, selalu kompak dunia akhirat. Termasuk soal qurban, inginnya besok berdelapan masuk surga mengendarai sapi yang sama", agak basah mata lelaki berusia empatpuluhan itu. Pemahaman khas masyarakat kampung semacam ini, tak aib jika dihormati.

Lalu orang ini menghadap Almaghfurlah KHA Wahab Chasbullah.

"O tentu saja boleh", jawab Mbah Wahab yang membuat pria itu terenyak.

"Wah, boleh Mbah qurban sapi untuk berdelapan?"

"Lha yo boleh. Tapi.."

"Tapi gimana Mbah?"

"Adikmu yang paling kecil itu kan masih agak kecil ya?"

"Iya Mbah."

"Nha, kalau nanti mau naik ke sapi kan agak susah itu ya? Ngrekel-ngrekelnya itu lho.."

"Lha terus gimana Mbah?"

"Mbok kamu tambahi kambing satu ekor biar buat ancik-ancik, buat pijakan naik ke sapinya."

"Wah, siap Mbah kalau begitu."

#kebijakanlokal
#mengatasi
#masalah







Kyai Terhebat



KYAI TERHEBAT Tiada TANDING  “45 TAHUN” MENCETAK INDONESIA MENJADI NEGARA SYARIAH - PERBANKAN SYARIAH & Negara CERDAS

PROF DR KH MAKRUF AMIN
“SI KANCIL”

Oleh: Dr. Muh. Nursalim

 Dalam buku 70 tahun Dr. K.H . Ma’ruf Amin terdapat satu sub bab berjudul, Akal “si Kancil” di DPRD Jakarta.

Di dalam film animasi buatan Malaysia, Pada Zaman Dahulu. Kancil digambarkan sebagai hewan  kecil tapi cerdas dan bijak. Sehingga semua binatang di hutan menghormati dan respek kepadanya. Hatta harimau, si raja hutanpun selalu kalah dengan kancil.

 “Kancil” di DPRD Jakarta itu tak lain adalah Ma’ruf Amin. Badannya memang kecil tapi banyak akal.

 Pada pemilu 1973 Ma’ruf Amin menjadi anggota DPRD. Saat itu usianya baru 28 tahun. Tetapi anak muda itu dipercaya menjadi ketua fraksi Islam. Gabungan dari Perti, Parmusi dan PSII.

 Saat Ma’ruf Amin menjadi anggota DPRD sudah  biasa terjadi macet di jalan raya. Bukan karena banyaknya kendaraan tetapi disebabkan polisi sering secara acak mencegat kendaraan yang lewat. Ingin mengecek masa berlaku STNK nya.

 Saat itu plat nomor kendaraan hanya berisi huruf dan angka. Tidak ada bulan dan tahun habis pajaknya. Maka secara acak, polisi suka memberhentikan kendaraan yang lewat. Sekedar melihat apakah STNK nya masih berlaku  atau kadaluarsa.

 Dalam sebuah sidang DPRD. Ketua fraksi Islam mengajukan usul agar plat nomor kendaraan ibu kota itu bukan hanya berisi nomor kendaraan. Tetapi diberi bulan dan tahun masa berlaku pajaknya. Sehingga polisi cukup melihat kendaraan yang lewat tidak perlu mencegat dan memeriksa satu-persatu.

 Ide “si kancil” itu disatujui gubenur Ali Sadikin. Bahkan akhirnya terobosan Ma’ruf Amin diterapkan di seluruh Indonesia. Menjadi program nasional.

Coba lihat plat nomor kendaraan anda. Di bawah nomor  ada angka yang menunjukkan  bulan dan tahun masa berlaku pajaknya.

Ketertarikannya kepada politik sudah sejak masih nyantri di Tebuireng. Pada pemilu tahun 1955 ponpes Tebuireng dibawah pengasuh kyai Abdul Khaliq Hasyim, anak keenam Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sang kyai tidak ke NU juga tidak ke Masyumi, tetapi mendirikan partai sendiri. Namanya partai AKUI (Aksi Kememangan Umat Islam).
Partai ini hanya mendapatkan satu kursi yang diduduki kyai Abdul Khaliq sendiri.

 Meskipun kyai Ponpes Tebuireng itu pimpinan partai AKUI tetapi santri tidak dilibatkan berpolitik. Mereka hanya disuruh belajar dan ngaji. Ma’ruf Amin ternyata tidak bisa mematuhi saran kyai tersebut. Ia selalu ingin tahu banyak hal tentang politik. Bahkan suatu saat dirinya bersama seorang kawannya nekat ke alun-alun Jombang. Hanya untuk melihat kampanyi PKI.

 Politik itu bertujuan mengegolkan keinginan dan cita-cita. Saat menjadi ketua MUI pun kiprah kyai Ma’ruf lebih banyak ke urusan politik. Yaitu mendorong pemerintah agar mengakomodasi sistem ekonomi syari’ah.

Gerakan ekonomi syari’ah tidak bisa dilepaskan dari peran “sang kancil”. Pedoman ekonomi syari’ah adalah fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) MUI. Ma’ruf Amin sejak lembaga ini berdiri menjadi ketua Badan Pelaksana Harian DSN.

Hingga saat ini sudah ada 122 fatwa DSN. Yang terakhir adalah fatwa tentang pengelolaan dana Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH)  sesuai dengan prinsip syari’ah. Fatwa ini sangat penting, sehingga dana haji tetap terkontrol kehalalannya.

Banyak fatwa DSN yang akhirnya menjadi hukum positif. Dijadikan Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan peraturan Otoritas Jasa Keungan (OJK).

Semoga masih tetap cerdik, banyak akal dan bijak, Sesuai prinsip syari’ah. Wallahu’alam





Sabtu, 11 Agustus 2018

Profil Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma'ruf Amin

*SIAPAKAH SIMBAH KH.MA'RUF AMIN*




_Oleh : WAroeng NasGor Arb_

*KH.Ma'ruf Amin*

*Bin Syekh Muhammad Amin*

*Bin Abdullah*

*Bin Nyai Kati*

*Binti Nyai kanisah*

*Binti Syekh Alim*

*Bin Ki Abdullah*

*Bin Ibrahim*

*Bin Syekh Hasan Bashri*

*Bin Ki Mahmud*

*Bin Raden Saleh*

*Bin Sulthan Abul Mufakhir*

*Bin Sulthan Maulana Muhammad Nashruddin*

*Bin Sulthan Maulana Yusuf*

*Bin Sulthan maulana Hasanuddin*

*Bin Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati*

*Untuk di ketahui oleh umat Islam khususnya dan Masyarakat Indonesia Pada Umumnya Bahwasanya Simbah KH Ma’ruf Amin  ternyata memiliki nasab keturunan dari tokoh-tokoh besar di Indonesia maupun Tanah Arab. Biografi ini jarang diungkapkan, bahkan terkesan disembunyikan.Mungkin beliau sendiri tidak ingin menonjolkan nasabnya itu, sebagai bentuk otonomi pribadi, yang tidak dikaitkan dengan para tokoh besar jaman dulu.*

*Beliau lahir di Tangerang, Banten, pada 11 Maret 1943, atau berusia 75 tahun 11 Maret 2018 ini. Dikenal sebagai seorang ulama dan politisi.*

*Jabatan tinggi di pemerintahan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden SBY.*

*Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur, menjadi tempat menuntut ilmu, kemudian kuliah di Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta.*

*Siapa KH. MA’RUF AMIN sebenarnya, inilah rahasia yang ditutupi. Dari berbagai sumber diperoleh informasi yang benar-benar di luar dugaan banyak orang.*

*Ternyata KH.Ma’ruf Amin adalah cicit dari Syeikh Nawawi Albantani*

*Maha gurunya ulama-ulama besar tanah air,ulama masyhur dunia yang* *fatwanya mnjadi rujukan muslim sedunia hingga hari ini*. *Kitab-kitab karangannya dipakai pesantren dari Timur Tengah,Afrika hingga Nusantara,dan satu-satunya ulama Nusantara yang pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram*

*Syeikh Nawawi ulama yang telah mengharumkan bangsa dalam khasanah Islam dunia. Beliau termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M*

*Karena kemasyhurannya beliau Syeikh Nawawi bahkan mendapat gelar : Imam Nawawi Tsani,Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wal Fahhamah Am-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar lil Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.*

*Murid Syeikh Nawawi banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah :*
*Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.*

*Maka berarti KH Ma’ruf Amin adalah keturunan yang ke 15 dari kesultanan Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Tajul ‘Arsy, dan nasabnya bersambung ke Imam Ja’far Assidiq-Imam Muhammad AlBaqir-Imam Ali Zainal Abidin-Sayyidina Husain-Sayyidah Fatimah Al-Zahra Bintu Rosulullah SAW.*

*SUBHANALLAH*








Jumat, 10 Agustus 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Tentang Santri



 BANYAK orang mengira, kiai besar seperti K.H A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ini pasti memiliki santri yang jumlahnya ribuan. Apa lagi dibandingkan dengan pesantren tertentu yang jumlah pendaftar setiap tahunnya saja sudah berjubel, apalagi ditambah dengan santri lama.
Belum lagi bila digabungkan antara santi putra dan putri. Jumlahnya bisa puluhan ribu. Namun gambaran pesantren yang besar dan modern dengan ribuan santri segera sirna begitu kita datang ke Desa Leteh, Rembang, lokasi pesantren Raudhatut Thalibin pimpinan Gus Mus. Pesantrennya relatif kecil dan santrinya tidak banyak. Aktivitas santri hanya mengaji dan mengaji.
Dari satu kitab ke kitab yang lain. Tidak ada sekolah formal, yang ada hanya madrasah pondok. Tak ada gapura penanda atau pagar keliling karena lokasi pesantren menyatu dengan rumah warga.
Orang yang baru mengenal Gus Mus lewat media sosial dan dari mulut ke mulut, tentu akan kaget melihat fakta ini. Anehnya, sekalipun kelewat sederhana, ada saja orang tua yang ''tega'' memondokkan anaknya di pesantren ini. Termasuk anak-anak yang tidak paham bahasa Jawa, seperti santri dari Madura, Jakarta, dan luar Jawa.
Ada yang lebih aneh lagi. Lazimnya, orang datang ke pesantren untuk menitipkan anak kepada kiai agar diterima dan dididik di pondok. Namun, orang yang satu ini tidak. Ia memondokkan mobilnya di pesantren. Ceritanya begini. Suatu hari, ada seseorang dari ibu kota datang ke rumah Gus Mus.
Setelah basa-basi sebentar, sang empunya mobil matur kepada Gus Mus, ''mobil ini saya serahkan kepada Gus Mus, dan ini kuncinya.'' Gus Mus kaget dan menggertak balik tanya: ''sampeyan ini siapa?, utusannya siapa? Mobil ini maksudnya untuk apa?'' Kebetulan waktu itu, menjelang Pilgub. Yang bersangkutan takut dan kaget dengan reaksi Gus Mus.
Gus Mus duko. Lalu ia jelaskan maksudnya. ''Mohon maaf Gus. Mohon jangan salah paham. Saya hanya ingin mondokkan mobil di pesantren ini. Ini mobil saya sendiri, biar nyantri di sini. Biar berkah. Kalau Gus Mus tidak percaya, ini saksinya.'' Sambil menunjuk Gus Sidqon (putra KH. Shodiq Hamzah).
Gus Sidqon mengangguk membenarkan maksud sebenarnya orang tersebut. Gus Mus tersenyum mendengar penjelasan orang tersebut. Baru kali ini, ada orang memondokkan mobil di pesantren. Akhirnya, mobil itu betul menjadi ''santrinya'' Gus Mus.
Melayani Gus Mus dan keluarga ke mana saja. Tahun lalu, mobil itu sudah diboyong oleh yang punya untuk ditukar dengan mobil lain yang lebih baik. Hari ini, 10 Agustus 74 tahun lalu, Gus Mus kecil lahir. Kiai, guru bangsa, dan budayawan, begitulah khalayak umum mengenalnya.
Cahaya ngaji dan spiritualitas berkesenian memengaruhi hati, pikiran, dan tindakan beliau. Gus Mus tidak hanya mengajar santri senior dengan kitab-kitab tebal. Santri kecil juga mengikuti pengajian beliau, dengan kitab arbain nawawiyyah.- (Abu Rokhmad Musaki- 23).
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/113523/gus-mus-dan-santri-istimewa 


Sabtu, 04 Agustus 2018

Pesantren Sidogiri : Kisah Alumni Sowan Kyai


*AKIBAT SANTRI/ALUMNI GAK PERNAH SOWAN*

IBROH BUAT ALUMNI PESANTREN MANAPUN
(baca sampai selesai)
~KISAH ALUMNI DAN TEMAN KARIBNYA~

Suatu hari seorang Alumni Sidogiri mendapat undangan ceramah disebuah kota. Hamdalah,sholawat dan salam telah usai diucapkan. Para hadirin dan segenap undangan begitu khidmad dan khusyuk mendengarkan materi yang disampaikan. Saat ditengah-tengah menyampaikan ceramahnya Sang Dai secara tak sengaja melihat teman kelasnya ketika dulu masih mondok di Pesanteren Sidogiri berada ditengah-tengah kerumunan para hadirin.

Sahdan, pengajian pun selesai, Sang Dai tak pelak mencari teman kelasnya yang tiba-tiba menghilang dari deretan hadirin dan para undangan. Hari demi hari pun berlalu, Sang Dai terus memikirkan dan berharap bisa bertemu kembali dengan teman kelasnya. Hingga pada suatu waktu, Allah ﷻ mempertemukan dua teman yang lama tak bersua ini di suatu tempat.

⭐⭐⭐⭐⭐

Sang Dai bertanya pada temannya : "Kenapa tempo hari kamu tiba-tiba menghilang saat dipengajian itu?"

"Aku malu, setelah tahu yang ceramah itu adalah kamu, teman kelasku". Jawab Sang Teman, sembari menunduk.

Sang Dai bertanya : "Kenapa kau harus malu? Bukankah aku adalah teman kelasmu. Kita pernah bersama-sama susah senang mengais ilmu di Pondok Pesantren Sidogiri mulai sejak Ibtidaiyah hingga kita lulus tugas.

Sang teman menjawab : "Aku malu pada diriku sendiri, dengan keadaanku saat ini. Hidupku miskin, serba kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan anak dan istriku saja, setiap malam aku terpaksa memburu katak (kodok) dari sawah ke sawah atau dari sungai ke sungai untuk aku jual ke pengepul seharga 20 ribu. Itu pun kalau malam itu aku dapat banyak, tapi kalau sedang apes dan tak seekor katak aku peroleh, maka aku harus pulang dengan tangan kosong. Untuk beli beras dan lauknya aku harus hutang ketetangga terdekat".

"Apakah kamu selama ini tidak pernah berkunjung ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk sekedar ke Pesarean (makam Masyaikh) atau suwan kepada Kyai? Atau setidaknya kamu mengikuti kegiatan IASS baik ngaji kitab atau istighosah setiap bulannya?". Tanya Sang Dai bertanya pada temannya.

"Aku tidak pernah mengikuti kegiatan IASS sama sekali, apalagi berkunjung ke Pondok atau suwan kepada Kyai. Entalah, aku merasa malu bercampur takut karena tak punya uang
untuk sengkem kepada Kyai dan tidak punya banyak ongkos untuk ikut ngaji kitab di IASS setiap bulan". Cerita Sang Teman dengan kejujurannya.

⭐⭐⭐⭐⭐

Di suatu kesempatan, Sang Dai mengajak temannya untuk suwan kepada KH. Nawawi bin Abd. Jalil. Sang Teman tentu saja menolak dengan alasan yang sama-tidak punya uang. Namun setelah Sang Dai memberi beberapa pertimbangan dan saran serta siap memberinya uang untuk suwan, akhirnya Sang Teman pun mau ikut suwan ke Kyai.

Sesampainya di kediaman KH. Nawawi bin Abd. Jalil Sidogiri, Sang Dai menghaturkan semua cerita pahit yang dialami temannya dengan rinci kepada Kyai Nawawi.

"Pohon saja kalau tidak pernah disiram air, maka akarnya akan mati. Begitu juga seorang Santri (Alumni), kalau tidak pernah disirami doa-doa para Masyaikh dan khidmah serta pengabdian di masyarakat demi membawa bendera Sidogiri li i'la kamatillah tentu hidupnya akan redup dan mati. Maka hendaklah kamu ikuti segala kegiatan yang diadakan IASS dan kalau ada waktu senggang suwanlah ke Pesarean (makam Masyaikh). Ini aku beri ijazah wirid, amalkan selama tujuh hari jangan sampai putus. Setelah itu pergilah kau ke arah selatan". Dawuh Kyai Nawawi bin Abd. Jalil.

⭐⭐⭐⭐⭐

Tujuh hari pun berlalu dan semua wirid yang diijazahkan Kyai dibacanya hingga usai, lalu Sang teman berjalan keluar dari rumahnya menuju ke arah selatan sesui pentunjuk yang diperintahkan Kyai Nawawi. Jauh dia melangkah ke arah selatan, meninggalkan rumahnya. Tak ada dalam benaknya kecuali hanya melaksanakan titah Kyai hingga akhirnya dia bertemu dengan orang sedang menebang pohon besar di hutan.

Sang teman bertanya : "Bapak menebang pohon ini untuk apa?".

"Aku menebang pohon ini untuk aku jual Nak! Apakah kau mau membelinya? Biar aku berikan padamu seharga 1 juta. Jawab Si Penebang Pohon.

Ah, tidak Pak! Aku tidak punya cukup uang untuk membelinya. Sahut Sang Teman.

Sudahlah! Bawa saja kayu ini kalau kau berminat membelinya. Jangan kau pikirkan masalah uangnya, nanti kalau kayu ini sudah laku kamu tinggal mengembalikan modalnya. Serah Si Penebang Pohon .

Dengan penuh semangat Sang Teman membawa kayu itu ke desa terdekat. Alhamdulillah, tanpa disangka kayu yang dibawanya laku 2 juta.

Setelah itu, keesokan hari Sang teman bersama Sang Dai suwan kembali ke KH. Nawawin bin Abd. Jalil di Sidogiri.

Sesampainya di Sidogiri Sang teman ditanya oleh Kyai Nawawi : "Bagaimana! Sudah mendapatkan rezeki?

"Ya, Alhamdulillah Kyai! Kemarin saya mendapat rezeki 1 juta". Jawab Sang Teman sembari tersenyum simpul.

"Kalau begitu, wirid yang aku berikan padamu amalkan lagi selama tujuh hari, sama seperti yang aku perintah minggu yang lalu. Perintah Kyai Nawawi.

⭐⭐⭐⭐⭐

Tujuh hari pun juga berlalu, Sang teman telah menyelesaikan wirid yang diperintahkan Kyai. Seperti sebelumnya dia pun keluar rumah dan berjalan ke arah selatan. Ketika sampai di suatu desa Sang Teman bertemu dengan orang yang sedang panen buah jeruk.

Iya, bertanya pada kepada Si Petani Jeruk : "Sedang panin jeruk Pak?

"Iya benar! Apakah kisanak, hendak memborong (membeli) jeruk ini? "Semua jeruk ini aku beri harga 5 juta saja. Kalau kisanak minat silahkan!!!". Jawab dan tanya Si Petani Jeruk.

"Aku tidak punya uang Pak! untuk membeli semua jeruk Bapak. Aku cuma ingin tahu saja". Jawab Sang Teman sedikit malu-malu.

"Tidak usah malu-malu dan memikirkan soal uangnya. Asalkan Kisanak minat, sudah bawa semua jeruk ini. Aku percaya Kisanak orang yang bisa dipercaya, masalah uang nanti belakangan. Kalau sudah laku, Kisanak tinggal membayar modalnya saja. Ajur Sang Petani Jeruk.

Tanpa basa-basi lagi Sang Teman, langsung membawa semua jeruk itu ke pasar. Alhamdulillah, semua jeruk yang dibawanya laku 10 juta dan dia hanya tinggal mengembalikan 5 juta kepada Sang Petani jeruk.

Singkat cerita, Sang Teman yang dulu hidup susah di bawah garis kemiskinan dan hanya bekerja memburu kodok setiap malam, sudah mulai berbahagia dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
❤ Subhanallah! Aku ucapkan. Sahabat sejati tentu tak akan pernah rela melihat sahabatnya hidup dalam kesusahan dan keterpurukan.

❤ Semoga kisah nyata ini bisa menjadi inspirasi dan diambil hikmahnya bagi semua Alumni Pesantren.

❤ Semoga Allah ﷻ selalu memberikan kita kesehatan, keluasan rezeki dan waktu untuk bisa suwan kepada guru-guru kita khususnya Para Masyaikh di Pesantren tempat kita belajar ilmu Allah ﷻ.
________________________________________________

By : Abdul Adzim

Kisah ini, diceritakan oleh Alumni Senior Santri Sidogiri asal kota Probolinggo.

#Dengan tujuan sebagai ibroh dan pelajaran bagi kita selaku Alumni Pesantren dan tidak ada maksud untuk menyinggung siapa pun yang mungkin kehidupannya ketepatan sama seperti cerita di atas.

.




Jumat, 03 Agustus 2018

Kiai Bahar Santri Kiai Kholil Bangkalan Madura

#hikayat
KIAI BAHAR SIDOGIRI: MEMBUAT SYAIKHONA KHOLIL MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 TURUN DARI KETURUNANNYA HARUS MONDOK DI SIDOGIRI





Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.
Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.
“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.
Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.
“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.
Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”
“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.
“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.
Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang beliau alami. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”
Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.
“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.
Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.
Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”
Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.
Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.
“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.
Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.
Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.
“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.
Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.
“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).” Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.
Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Karena usianya yang sangat muda beliau Kiai Bahar dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”.
Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”











Kamis, 02 Agustus 2018

K.H. Bisri Mustofa : Singa Podium

KH Bisri Musthofa: Singa Podium Pejuang Kemerdekaan




Saat ini, sosok Kiai yang setara dengan Kiai Bisri Musthofa telah jarang ditemui. Kiai Bisri Musthofa merupakan sosok yang lengkap: Kiai, Budayawan, Muballigh, Politisi, Orator, dan Muallif (penulis). Sungguh, sosok Kiai yang memiliki kecerdasan lengkap. Ayahanda Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Cholil Bisri ini menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara. Tak heran, Kiai Sahal Mahfudh menyebut Kiai Bisri sebagai sosok yang memukau pada zamannya.<>

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang, pada tahun 1914. Beliau putra pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah, terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diganti dengan sebutan Bisri. Pada tahun 1923, KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit hingga wafat. Kiai Zainal dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan putra-putranya kembali ke Indonesia.

Ketika sampai di Indonesia, Bisri bersama adik-adiknya yang masih belia, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu' Zuhdi), serta dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah). Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), hingga selesai. Bisri kecil mengaji di pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma'shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma'shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy'arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dengan demikian, sanad keilmuan Kiai Bisri jelas tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma'shum Lasem dan beberapa ulama lain.

Santri Kelana



Sebagai santri, Bisri muda memang dikenal gigih dan santun. Kecerdasan dan penguasaaan atas kitab-kitab kuning, serta sikap moral tawadhu' terhadap Kiai, menjadikan Bisri dekat dengan Kiainya, Kiai Kholil Haroen. Kemudian, Kiai Kholil menjodohkan santrinya ini dengan putrinya, Marfuah binti Kholil. Pernikahan pasangan santri ini, berlangsung pada 1935, dengan dikarunai beberapa putra-putri: Kholil Bisri, Musthofa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Setelah menikah dengan putri Kiai Kholil, Bisri muda berniat melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiah). Semangat belajar sebagai santri kelana memuncak pada diri Bisri muda. Akhirnya, jejak langkahnya untuk mengaji mendapat kesempatan, dengan melanjutkan tabarrukan kepada Kiai Kamil, Karang Geneng Rembang. Pada 1936, Kiai Bisri menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada ulama-ulama Hijaz. Di antaranya guru-gurunya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi. Selain itu, Kiai Bisri juga mengaji kepada ulama-ulam Hijaz asal Nusantara, yakni KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy'arie) dan KH. Bakir (Yogyakarta).

Setelah setahun belajar kepada ulama Hijaz, Kiai Bisri pulang ke tanah air pada 1937. Kiai Bisri kemudian membantu mertuanya, KH. Kholil Kasingan mengasuh pesantren di Rembang. Setelah itu, Kiai Bisri bersama keluarga memutuskan untuk menetap di Leteh, dengan mendidik santri dan mendirikan pesantren Raudlatut Thalibin.

Dalam mengasuh santri, Kiai Bisri sangat gigih dalam memberikan perhatian dan penanaman nilai-nilai kepada anak didik, dengan mengenalkan ibadah sedini mungkin, budi pekerti, tata krama dan tradisi-tradisi pesantren yang menjadi benteng perjuangan para kiai. Kiai Bisri menganggap bahwa hubungan antara kiai dan santri harus dekat, sebagaimana hubungan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.

Kiai Bisri berpandangan bahwa syariat Islam dapat terlakasana di Indonesia, namun  tanpa harus menggunakan formalisme agama dalam bentuk negara Islam (Darul Islam). Kiai Bisri mendukung konsep Pancasila sebagai wawasan Nusantara, serta pilar NKRI. Beliau mendorong komunikasi antara Ulama dan Zu'ama, yang bertujuan mencetak kader-kader handal di Nahdlatul Ulama. Pada konteks ini, Kiai Bisri berpandangan bahwa, perjuangan bisa dilakukan dengan dua cara: yakni jalur politik dan jalur dakwah/pendidikan (Zainal Huda, 2005: 108).

Perjuangan Keindonesiaan

Menurut Kiai Sahal Mahfudh (2005), Kiai Bisri Musthofa memang "sosok yang luar biasa pada zamannya (faridu ashrihi). Bukan hanya keilmuannya yang luas, namun juga daya tariknya, daya simpatik dan daya pikat yang memukau siapa saja yang berhadapa dengan beliau. Apalagi, ketika beliau sedang berpidato di depan khalayak ramai, dapat dipastikan para pendengar terpukau dan terpingkal-pingkal karena gaya bicara, aksen suara dan lelucon-leluconnnya yang segar.

Kiai Bisri Musthofa juga dikenal sebagai penyair, yang sering menggubah syair dari bahasa Arab ke Bahasa Jawa, yang mudah dipahami publik. Kiai Bisri, di antaranya menggubah syair Ngudi Susilo dan Tombo Ati. Syair Ngudi Susilo merupakan syair yang berisikan pesan-pesan moral yang ditujukan bagi anak-anak tentang cara menghormati dan berbakti kepada orang tua (birrul walidain). Sedangkan, syair Tombo Ati merupakan syair terjemahan dari kata-kata mutiara Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Zinul Huda, 2005: 80). Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tombo Ati dalam versi Jawa merupakan gubahan Kiai Bisri. Syair ini, saat ini banyak dilantunkan dalam grup shalawat dan musik, di antaranya sering dinyanyikan Kiai Kanjeng dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang kondang, beliau memberikan ceramah di berbagai daerah. Kemampuan komunikasi yang handal di atas panggung, menjadikan Kiai Bisri disebut sebagai 'Singa Podium'. Dalam catatan Saifuddin Zuhri (1983: 27), Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah dicerna baik orang-orang perkotaan maupun warga desa yang bermukim di kampung-kampung. Dalam orasi Kiai Bisri, hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, hal sepele menjadi amat penting. Selain itu, kritik Kiai Bisri sangat tajam, dengan karakter khas berupa gojlokan dan guyonan ala pesantren. Kritikan spontan dan segar, menjadi strategi komunikasi yang tepat, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa tersinggung atau marah. Inilah kelebihan Kiai Bisri sebagai muballigh, orator dan kiai yang paham politik.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri juga bergerak untuk melawan pasukan Kolonial. Bersama para kiai, Kiai Bisri terlibat langsung dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu, Laskar Santri menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Barisan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah telah dibentuk dibeberapa daerah. Laskah Hizbullah dikomando oleh Kiai Zainul Arifin, sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin Kiai Masjkur Malang. Pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy'arie menyerukan Resolusi Jihad, sebagai panggilan perjuangan para santri, pemuda dan warga untuk berperang melawan penjajah. Perjuangan ini menjadi bagian dari keimanan, demi tegaknya kemaslahatan bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim Asy'arie mengandung tiga unsur penting: Pertama, tiap muslim—tua, muda, dan miskin sekalipun—wajib memerangi orang kafir yang merintangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekan layak disebut Syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Di samping itu, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak diperbolehkannya qashar sholat). Di luar radius itu, dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Tentu saja, hal ini menjadi pelecut semangat  para santri untuk berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk mendukung perjuangan para santri, Kiai Hasyim Asy'arie mengundang beberapa kiai untuk bergabung. Laskar santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah perlu didukung oleh para kiai. Pada waktu itu, Kiai Bisri Musthofa turun langsung ke medan pertempuran, bersama para kiai lain, di antaranya Kiai Abbas Buntet  dan Kiai Amin Babakan Cirebon. Bahkan, rombongan Kiai Abbas Buntet singgah terlebih dulu di Rembang, untuk kemudian bersama Kiai Bisri melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Dalam bidang politik, Kiai Bisri pernah menjadi anggota konstituante. Perjuangannya dapat dilacak ketika beliau berkecimpung di parlemen maupun di luar struktur negara. Kiai Bisri juga dikenal sebagai sosok yang mendukung ide Soekarno, yakni konsep Nasakom (Nasionalis, Sosialis, Komunis). Kiai Bisri memberi catatan, bahwa ketika pihak yang berbeda ideologi, harus bersaing secara sehat dalam koridor keindonesiaan, dengan tetap mempertahankan NKRI. Akan tetapi, Kiai Bisri juga menjadi pengkritik paling tajam ketika Nasakom menjadi pahara politik. Diplomasi politik Kiai Bisri tidak hanya di ranah lokal, namun juga berpengaruh pada kebijakan politik nasional.

Jurus diplomasi politik Kiai Bisri layak dicontoh. Beliau tidak memisahkan politik dan agama, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, beliau tetap menggunakan etika dan fiqh sebagai referensi bersikap. Karena itu, tidak pernah dijumpai konflik antara Kiai Bisri dengan lawan-lawan politiknya. Aktifis NU pada zamannya, sangat menghormati Kiai Bisri, semisal KH. Idham Cholid, KH. Akhmad Syaichu, Subhan ZE dan beberapa kiai lain.

Kiai Bisri termasuk penulis (muallif) yang produktif. Karya-karyanya melimpah, dengan warna yang beragam. Sebagian besar, karyanya ditulis untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam. Karya-karya Kiai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Salah satu karya fenomenal adalah Tafsir al-Ibriz, yang ditulis dalam Jawa Pegon. Karya beliau lebih dari 30 judul, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham'an (Nuzul al-Qur'an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta'liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna', Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya', Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi'ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi'ir Pemilu, Zad az-Zu'ama wa Dzakirat al-Khutaba', Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.



Kiai Bisri Musthofa wafat pada usia 63 tahun, pada 16 Februari 1977. Ketika itu, warga Indonesia sedang menyongsong pemilu 1977 pada masa Orde Baru. Santri Nusantara membutuhkan sosok-sosok dengan kecerdasan lengkap dalam diri Kiai Bisri Musthofa. Alfaatihah.

Rabu, 01 Agustus 2018

Gus Dur Tidak Mau Kebaikannya Dibicarakan Orang



SEBUAH TELADAN:


*KH. Marzuki Mustamar : Gus Dur Tidak Ingin Kebaikannya Dibicarakan Orang*

K.H. Abdurrahman Wahid = Gus Dur



Inilah alasan mengapa Gus Dur sering ke gereja dan dekat dengan non-muslim, oleh KH. Marzuki Mustamar.

Tadi malam saat memberikan mau'idloh dlm acara Haul Mbah Ibrohim Asmoroqondi, KH. Marzuki Mustamar berkisah banyak tentang Gus Dur yang tentu layak kita jadikan inspirasi :

*Kisah Pertama*

Di suatu saat Kyai Mahfud (sahabat dekat Gus Dur) menyampaikan sebuah fakta kepada KH. Marzuki Mustamar tentang alasan Gus Dur dekat dengan para pastur, seperti Romo Mangun.

Gus Dur menyampaikan bahwa "Tujuanku dekat dengan "Si Romo" adalah agar dia menghentikan misi kristenisasinya".

Diketahui bahwa Si Romo ini memang seorang misionaris, yakni biasanya mendatangi desa-desa terpencil dan membagikan sembako disertai nasehat atau ceramah tentang kekristenan. Maka, setelah Gus Dur dekat dengannya tentu sering diajak ke tempat-tempat tersebut dan tentu juga tak mungkin Si Romo melancarkan misinya karena malu kepada Gus Dur.

*Kisah Kedua*

Gus Dur pernah ditanya oleh Kyai Marzuki sendiri mengapa sering ke gereja, maka jawab beliau : "Apa tidak boleh aku ikut merawat umat yang tercecer ?", Apa kamu kira di gereja tidak ada umat islam yang bekerja di sana ?, Apa salah bila di Gereja aku menyampaikan kebenaran tentang islam, agar mereka mengetahui tentang islam yang sebenarnya, sehingga yang muslim tetap islam dan yang kristen bisa masuk islam ?".

Biasanya Gus Dur juga bertanya dan menasehati para muslim yang bekerja di gereja ; "Kamu masih islam kan ?, kuatkan ke islaman-mu !".

*Kisah Ketiga*

Pernah diketahui bahwa Gus Dur "terlihat kontras" dengan Mbah Yai Maimun Zubair, Sarang. Namun nyatanya saat Gus Dur wafat yang termasuk jadi imam sholat jenazah adalah beliau. Dan saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur, Mbah Yai Maimun Zubair memimpin kegiatan tahlilan dan punya kesempatan menyampaikan fakta yang sungguh mengharukan.

Bahwa ternyata semua adalah rekayasa Gus Dur sendiri agar beliau tidak dibicarakan kebaikannya saat masih hidup, yakni saat Mbah Yai Maimun "mau mantu", Gus Dur bermaksud menawarkan bantuan beberapa puluh juta rupiah kepada MbahYai Maimun dengan catatan ini dirahasiakan dan hanya beliau berdua yang mengetahui, bahkan Gus Dur malah merekayasa agar seakan-akan "ada permusuhan" di antara keduanya.

Maka selanjutnya terjadilah, banyak orang mencibir Gus Dur dan menyebutnya santri yang sudah tidak perhatian dan taat kepada Kyai.

*Kisah Keempat*

Di sini ada dua kisah yang dialami sendiri oleh KH. Marzuki Mustamar :

Kisah pertama : setelah peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur, tiba-tiba ada tamu yang datang ke "ndalem" KH. Marzuki Mustamar dan memberikan sebuah piagam juga beberapa ratus sarung pemberian Gus Dur. Kyai Marzuki Mustamar bertanya : "Kok tidak diberikan saat beliau masih hidup ?", si tamu menjawab: "Karena ini adalah wasiat Gus Dur".

Kenapa piagam dan sarung ?. Diketahui bahwa KH. Marzuki Mustamar telah berhasil menguasai gereja di Malang dengan mengislamkan banyak orang di sana, sehingga gerejanya jadi kosong. Lalu KH. Marzuki Mustamar membeli gereja itu dan menjadikannya madrasah.

Rupanya Gus Dur mendengar hal tersebut dan berinisiatif memberikan "penghargaan" dan sejumlah sarung sebagai bentuk dukungan bagi para mu'allaf. Namun hal ini tidak beliau berikan semasa masih hidup karena tidak ingin kebaikannya dibicarakan banyak orang.

Kisah kedua, yaitu setelah 100 hari peringatan wafatnya Gus Dur, ada tamu lagi yang datang ke "ndalem" KH. Marzuki Mustamar dan menyerahkan tiga koper tas yang setelah dibuka berisi uang Rp 3.000.000.000 (3 miliar). Tamu tersebut menyampaikan pesan bahwa uang tersebut adalah pemberian Gus Dur dan agar dibagikan ke para yatim piatu se-Kabupaten Malang.

Lagi-lagi Gus Dur tidak mau kebaikannya dibicarakan selama masih hidup, maka beliau berwasiat demikian.

*Kisah Kelima*

Setelah terjadinya "Bom Bali", Gus Dur sangat sedih dan bingung, yakni memikirkan kondisi "keamanan" kaum muslimin di sana, maka atas kecerdasan Ilahy nya Gus Dur mengangkat ketua Hindu Bali sebagai ketua dewan Syuro PKB yang tentu ini ditentang banyak orang termasuk dari kalangan NU, namun beliau tetap pada pendiriannya.

Faktanya, respon masyarakat Hindu kepada Islam tetap baik-baik saja, terutama kepada NU. Kemudian saat KH. Marzuki Mustamar datang ke Bali untuk berceramah, beliau cukup menunjukkan KARTANU (Kartu Anggota NU) kepada aparat kepolisian yang berjaga-jaga dan beliau pun aman dalam berdakwah.

Fakta kedua, dikabarkan bahwa ketua Hindu tersebut akhirnya masuk Islam dan jadi muslim yang taat sampai saat ini.

*Kisah Keenam*

Sepeninggal Gus Dur, banyak sekali diketemukan bangunan Masjid dan tanah wakaf yang berasal dari pemberian beliau, hingga luar pulau bahkan sampai negara Belanda, maka sebab hal-hal inilah beliau dekat dengan tokoh-tokoh non-muslim hanya demi melancarkan strategi dakwahnya, termasuk meloloskan izin pendirian sebuah Masjid di Belanda yang saat ini ketua ta'mirnya adalah putra ketua Korcab Banser se-Kabupaten Malang.

-----------------------------

Inti Mauidloh Hasanah KH. Marzuki Mustamar :

LEBIH BAIK DIANGGAP BURUK NAMUN KENYATAANNYA BAIK, DARI PADA DIANGGAP BAIK TAPI KENYATAANNYA BURUK.

Ya Allah, ridloilah Gus Dur, tempatkanlah beliau di tempat terbaik di sisi-Mu, dan jadikanlah kami para pengikutnya senantiasa menetapi islam, iman dan ihsan sesuai haluan Ahlussunah wal Jama'ah, aamiin...

Sumber dari facebook :

Dlm acara haul Mbah Ibrohim Asmoroqondi, Palang - Tuban.








Senin, 30 Juli 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Amplop Abu Abu



KH.MUSTOFA BISRI
*AMPLOP ABU ABU*
oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan.Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.
Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.
Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.
Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.
Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.
Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri.Tak membekas.
Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.
Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.
Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.
Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.
Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.
Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.
Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.
Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.
Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.
Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.
Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.
Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.
Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?
Darimana dia mendapat informasi?
Atau dia selalu membuntutiku?
Tidak mungkin. Musykil sekali.
Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.
Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.
Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.
“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.
“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”
“Coba kau bawa kemari semua!"
Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.
“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.
Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.
“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.
Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.
“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”
“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.
“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.
Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.
Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.
“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.
Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.
Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.
Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:
“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.
”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.
”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.
”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.
Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.
”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.
Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.
Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.
Ah.Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.
Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.
Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.
Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.
“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.
“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.
Malah semuanya masih saya simpan.”“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.
“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”
“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaian
ku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.
Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,
“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.
“Lihat kemari, Pak!”
Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.
Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.
Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya
Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.
Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.
Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.
”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”
Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.
Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.
SubhanAllah!
.







Kamis, 26 Juli 2018

MBAH DALHAR WATUCONGOL MUNTILAN MAGELANG

Mbah Dalhar, Seorang Pejuang Dan Cucu Panglima Perang Jawa

Jaringan ulama santri berjuang secara gigih dalam memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.
Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan. Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari, 2004).
Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang, dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami pembaca.
Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf, diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.
Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari 1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.
Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III. Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III (memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.
Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan Tuqo.
Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanera dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Muntilan.  Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar
Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syaikh selaam delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi’iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah.
Pada tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang oleh tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci.
Di tanah Hijaz, nama “Dalhar” menemukan sejarahnya, yakni pemberian dari Syaikh Sayyid Muhammad  Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.
Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama ‘alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten, dan Kiai Ahmad Abdul Haq.
Ketika mengaji di Makkah, secara istiqomah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci, sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta’dzim sekaligus sikap istiqomah Kiai Dalhar yang telah teruji.
Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab, di antaranya: Kitab Tanwir al-Ma’ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah. Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren-pesantren ternama. Di antara murid Kiai Dalhar, yakni Kiai Ma’shum (Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek.
Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Dalam catatan Ibad (2007: 31), Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur dan Kiai Arwani. Kemudian, mata rantai berlanjut, dari Kiai Ashari, Gus Miek membina hubungan dengan Kiai Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu) dan Kiai Hamid Kajoran. Lalu, dari Kiai Hamid Kajoran, Gus Miek berinteraksi dengan Mbah Juneid, Mbah Mangli dan Mbah Muslih Mranggen.
Perjuangan kebangsaan
Ketika era perjuangan melawan rezim kolonial, peran Kiai Dalhar tidak bisa dilupakan. Para pejuang di kawasan Magelang, Yogyakarta, Banyumas dan kawasan Bagelen-Kedu datang ke pesantren Kiai Dalhar untuk meminta doa. Oleh Kiai Dalhar, para pejuang diberi asma’, doa dan ijazah kekebalan, serta diberi bambu runcing yang telah diberi doa. Dikisahkan, ketika para pejuang menggempur Belanda di kawasan Benteng Ambarawa, dimudahkan oleh Allah dengan semangat dan kekuatan. Dorongan doa dan semangat yang diberikan Kiai Dalhar serta beberapa kiai lainnya, menambah daya juang para santri untuk bertempur mengawal kemerdekaan.
Pertempuran laskar santri dan pemuda melawan tentara sekutu, meletus pada 21 November 1945. Atas desakan laskar dan tentara rakyat, yang dikomando oleh Jendral Soedirman, tentara sekutu mundur ke Semarang. Namun, mundurnya Sekutu juga membuat ribut di Ambarawa, yang kemudian disebut Palagan Ambarawa. Pada perang ini, Laskar Hizbullah dari Yogyakarta dan kawasan sekitar, bersatu dengan beberapa tentara rakyat mengepung Ambarawa. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, tepatnya di kawasan Jambu dan Banyubiru.
Front Ambarawa dikepung dari beberapa penjuru. Kawasan Selatan dikepung pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga. Utara ditempati pasukan Kedu dan Ambarawa, dari sisi Timur hadir pasukan Divisi IV BKR Salatiga. Pihak Belanda dan tentara Sekutu bermarkas di Kompleks Gereja Margo Agung, serta pos militer di perkebunan. Laskar santri di bawah komando Bachron Edress berhasil mengakses front Ambarawa. Laskar-laskar santri dan pemuda yang bertempur di Ambarawa, sebagian besar sowan ke Kiai Dalhar Watucongol dan Kiai Subchi Parakan untuk minta doa sebelum bergerilya.
Mbah Kiai Dalhar mencatatkan sejarah dalam jaringan ulama Nusantara, sebagai rujukan keilmuan, perjuangan serta sufisme dalam tradisi pesantren. Kiai Dalhar wafat pada 23 Ramadhan, bertepatan dengan 8 April 1959. Jasad Kiai Dalhar dikebumikan di pemakaman Gunungpring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Kisah perjuangan dan keteladanan Kiai Dalhar menjadi bukti betapa penting jaringan ulama-santri dalam mengawal negeri, menjemput kemerdekaan Indonesia.(Munawwir Aziz)
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, Peneliti Islam Nusantara.
Sumber: www.nu.or.id
Referensi:
Carey, Peter. The Power of Propechy, Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV. 2007.
Djamhari, Saleh As’ad. Strategi Menjinakkan Dipanegara: Stelsel Benteng, 1827-1830. Depok: Komunitas Bambu. 2004.
Hadi, Murtadho. Jejak Spiritual Abuya Dimyathi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2009
__________________. Suluk Jalan Terbatas Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007.
Ibad, Muhammad Nurul. Pelajaran dan Ajaran Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007
Tim Buku PWNU Jawa Timur. Peranan Ulama Pejuang Kemerdekaan. Surabaya: PWNU Jawa Timur.
Thomafi, Muhammad Luthfi. Mbah Ma’shum Lasem. Yogykarta: LKIS. 2007
YOU MIGHT ALSO LIKE
COMMENTS