Tampilkan postingan dengan label Bisri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bisri. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Agustus 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Tentang Santri



 BANYAK orang mengira, kiai besar seperti K.H A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ini pasti memiliki santri yang jumlahnya ribuan. Apa lagi dibandingkan dengan pesantren tertentu yang jumlah pendaftar setiap tahunnya saja sudah berjubel, apalagi ditambah dengan santri lama.
Belum lagi bila digabungkan antara santi putra dan putri. Jumlahnya bisa puluhan ribu. Namun gambaran pesantren yang besar dan modern dengan ribuan santri segera sirna begitu kita datang ke Desa Leteh, Rembang, lokasi pesantren Raudhatut Thalibin pimpinan Gus Mus. Pesantrennya relatif kecil dan santrinya tidak banyak. Aktivitas santri hanya mengaji dan mengaji.
Dari satu kitab ke kitab yang lain. Tidak ada sekolah formal, yang ada hanya madrasah pondok. Tak ada gapura penanda atau pagar keliling karena lokasi pesantren menyatu dengan rumah warga.
Orang yang baru mengenal Gus Mus lewat media sosial dan dari mulut ke mulut, tentu akan kaget melihat fakta ini. Anehnya, sekalipun kelewat sederhana, ada saja orang tua yang ''tega'' memondokkan anaknya di pesantren ini. Termasuk anak-anak yang tidak paham bahasa Jawa, seperti santri dari Madura, Jakarta, dan luar Jawa.
Ada yang lebih aneh lagi. Lazimnya, orang datang ke pesantren untuk menitipkan anak kepada kiai agar diterima dan dididik di pondok. Namun, orang yang satu ini tidak. Ia memondokkan mobilnya di pesantren. Ceritanya begini. Suatu hari, ada seseorang dari ibu kota datang ke rumah Gus Mus.
Setelah basa-basi sebentar, sang empunya mobil matur kepada Gus Mus, ''mobil ini saya serahkan kepada Gus Mus, dan ini kuncinya.'' Gus Mus kaget dan menggertak balik tanya: ''sampeyan ini siapa?, utusannya siapa? Mobil ini maksudnya untuk apa?'' Kebetulan waktu itu, menjelang Pilgub. Yang bersangkutan takut dan kaget dengan reaksi Gus Mus.
Gus Mus duko. Lalu ia jelaskan maksudnya. ''Mohon maaf Gus. Mohon jangan salah paham. Saya hanya ingin mondokkan mobil di pesantren ini. Ini mobil saya sendiri, biar nyantri di sini. Biar berkah. Kalau Gus Mus tidak percaya, ini saksinya.'' Sambil menunjuk Gus Sidqon (putra KH. Shodiq Hamzah).
Gus Sidqon mengangguk membenarkan maksud sebenarnya orang tersebut. Gus Mus tersenyum mendengar penjelasan orang tersebut. Baru kali ini, ada orang memondokkan mobil di pesantren. Akhirnya, mobil itu betul menjadi ''santrinya'' Gus Mus.
Melayani Gus Mus dan keluarga ke mana saja. Tahun lalu, mobil itu sudah diboyong oleh yang punya untuk ditukar dengan mobil lain yang lebih baik. Hari ini, 10 Agustus 74 tahun lalu, Gus Mus kecil lahir. Kiai, guru bangsa, dan budayawan, begitulah khalayak umum mengenalnya.
Cahaya ngaji dan spiritualitas berkesenian memengaruhi hati, pikiran, dan tindakan beliau. Gus Mus tidak hanya mengajar santri senior dengan kitab-kitab tebal. Santri kecil juga mengikuti pengajian beliau, dengan kitab arbain nawawiyyah.- (Abu Rokhmad Musaki- 23).
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/113523/gus-mus-dan-santri-istimewa 


Kamis, 02 Agustus 2018

K.H. Bisri Mustofa : Singa Podium

KH Bisri Musthofa: Singa Podium Pejuang Kemerdekaan




Saat ini, sosok Kiai yang setara dengan Kiai Bisri Musthofa telah jarang ditemui. Kiai Bisri Musthofa merupakan sosok yang lengkap: Kiai, Budayawan, Muballigh, Politisi, Orator, dan Muallif (penulis). Sungguh, sosok Kiai yang memiliki kecerdasan lengkap. Ayahanda Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Cholil Bisri ini menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara. Tak heran, Kiai Sahal Mahfudh menyebut Kiai Bisri sebagai sosok yang memukau pada zamannya.<>

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang, pada tahun 1914. Beliau putra pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah, terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diganti dengan sebutan Bisri. Pada tahun 1923, KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit hingga wafat. Kiai Zainal dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan putra-putranya kembali ke Indonesia.

Ketika sampai di Indonesia, Bisri bersama adik-adiknya yang masih belia, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu' Zuhdi), serta dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah). Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), hingga selesai. Bisri kecil mengaji di pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma'shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma'shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy'arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dengan demikian, sanad keilmuan Kiai Bisri jelas tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma'shum Lasem dan beberapa ulama lain.

Santri Kelana



Sebagai santri, Bisri muda memang dikenal gigih dan santun. Kecerdasan dan penguasaaan atas kitab-kitab kuning, serta sikap moral tawadhu' terhadap Kiai, menjadikan Bisri dekat dengan Kiainya, Kiai Kholil Haroen. Kemudian, Kiai Kholil menjodohkan santrinya ini dengan putrinya, Marfuah binti Kholil. Pernikahan pasangan santri ini, berlangsung pada 1935, dengan dikarunai beberapa putra-putri: Kholil Bisri, Musthofa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Setelah menikah dengan putri Kiai Kholil, Bisri muda berniat melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiah). Semangat belajar sebagai santri kelana memuncak pada diri Bisri muda. Akhirnya, jejak langkahnya untuk mengaji mendapat kesempatan, dengan melanjutkan tabarrukan kepada Kiai Kamil, Karang Geneng Rembang. Pada 1936, Kiai Bisri menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada ulama-ulama Hijaz. Di antaranya guru-gurunya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi. Selain itu, Kiai Bisri juga mengaji kepada ulama-ulam Hijaz asal Nusantara, yakni KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy'arie) dan KH. Bakir (Yogyakarta).

Setelah setahun belajar kepada ulama Hijaz, Kiai Bisri pulang ke tanah air pada 1937. Kiai Bisri kemudian membantu mertuanya, KH. Kholil Kasingan mengasuh pesantren di Rembang. Setelah itu, Kiai Bisri bersama keluarga memutuskan untuk menetap di Leteh, dengan mendidik santri dan mendirikan pesantren Raudlatut Thalibin.

Dalam mengasuh santri, Kiai Bisri sangat gigih dalam memberikan perhatian dan penanaman nilai-nilai kepada anak didik, dengan mengenalkan ibadah sedini mungkin, budi pekerti, tata krama dan tradisi-tradisi pesantren yang menjadi benteng perjuangan para kiai. Kiai Bisri menganggap bahwa hubungan antara kiai dan santri harus dekat, sebagaimana hubungan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.

Kiai Bisri berpandangan bahwa syariat Islam dapat terlakasana di Indonesia, namun  tanpa harus menggunakan formalisme agama dalam bentuk negara Islam (Darul Islam). Kiai Bisri mendukung konsep Pancasila sebagai wawasan Nusantara, serta pilar NKRI. Beliau mendorong komunikasi antara Ulama dan Zu'ama, yang bertujuan mencetak kader-kader handal di Nahdlatul Ulama. Pada konteks ini, Kiai Bisri berpandangan bahwa, perjuangan bisa dilakukan dengan dua cara: yakni jalur politik dan jalur dakwah/pendidikan (Zainal Huda, 2005: 108).

Perjuangan Keindonesiaan

Menurut Kiai Sahal Mahfudh (2005), Kiai Bisri Musthofa memang "sosok yang luar biasa pada zamannya (faridu ashrihi). Bukan hanya keilmuannya yang luas, namun juga daya tariknya, daya simpatik dan daya pikat yang memukau siapa saja yang berhadapa dengan beliau. Apalagi, ketika beliau sedang berpidato di depan khalayak ramai, dapat dipastikan para pendengar terpukau dan terpingkal-pingkal karena gaya bicara, aksen suara dan lelucon-leluconnnya yang segar.

Kiai Bisri Musthofa juga dikenal sebagai penyair, yang sering menggubah syair dari bahasa Arab ke Bahasa Jawa, yang mudah dipahami publik. Kiai Bisri, di antaranya menggubah syair Ngudi Susilo dan Tombo Ati. Syair Ngudi Susilo merupakan syair yang berisikan pesan-pesan moral yang ditujukan bagi anak-anak tentang cara menghormati dan berbakti kepada orang tua (birrul walidain). Sedangkan, syair Tombo Ati merupakan syair terjemahan dari kata-kata mutiara Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Zinul Huda, 2005: 80). Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tombo Ati dalam versi Jawa merupakan gubahan Kiai Bisri. Syair ini, saat ini banyak dilantunkan dalam grup shalawat dan musik, di antaranya sering dinyanyikan Kiai Kanjeng dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang kondang, beliau memberikan ceramah di berbagai daerah. Kemampuan komunikasi yang handal di atas panggung, menjadikan Kiai Bisri disebut sebagai 'Singa Podium'. Dalam catatan Saifuddin Zuhri (1983: 27), Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah dicerna baik orang-orang perkotaan maupun warga desa yang bermukim di kampung-kampung. Dalam orasi Kiai Bisri, hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, hal sepele menjadi amat penting. Selain itu, kritik Kiai Bisri sangat tajam, dengan karakter khas berupa gojlokan dan guyonan ala pesantren. Kritikan spontan dan segar, menjadi strategi komunikasi yang tepat, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa tersinggung atau marah. Inilah kelebihan Kiai Bisri sebagai muballigh, orator dan kiai yang paham politik.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri juga bergerak untuk melawan pasukan Kolonial. Bersama para kiai, Kiai Bisri terlibat langsung dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu, Laskar Santri menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Barisan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah telah dibentuk dibeberapa daerah. Laskah Hizbullah dikomando oleh Kiai Zainul Arifin, sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin Kiai Masjkur Malang. Pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy'arie menyerukan Resolusi Jihad, sebagai panggilan perjuangan para santri, pemuda dan warga untuk berperang melawan penjajah. Perjuangan ini menjadi bagian dari keimanan, demi tegaknya kemaslahatan bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim Asy'arie mengandung tiga unsur penting: Pertama, tiap muslim—tua, muda, dan miskin sekalipun—wajib memerangi orang kafir yang merintangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekan layak disebut Syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Di samping itu, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak diperbolehkannya qashar sholat). Di luar radius itu, dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Tentu saja, hal ini menjadi pelecut semangat  para santri untuk berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk mendukung perjuangan para santri, Kiai Hasyim Asy'arie mengundang beberapa kiai untuk bergabung. Laskar santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah perlu didukung oleh para kiai. Pada waktu itu, Kiai Bisri Musthofa turun langsung ke medan pertempuran, bersama para kiai lain, di antaranya Kiai Abbas Buntet  dan Kiai Amin Babakan Cirebon. Bahkan, rombongan Kiai Abbas Buntet singgah terlebih dulu di Rembang, untuk kemudian bersama Kiai Bisri melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Dalam bidang politik, Kiai Bisri pernah menjadi anggota konstituante. Perjuangannya dapat dilacak ketika beliau berkecimpung di parlemen maupun di luar struktur negara. Kiai Bisri juga dikenal sebagai sosok yang mendukung ide Soekarno, yakni konsep Nasakom (Nasionalis, Sosialis, Komunis). Kiai Bisri memberi catatan, bahwa ketika pihak yang berbeda ideologi, harus bersaing secara sehat dalam koridor keindonesiaan, dengan tetap mempertahankan NKRI. Akan tetapi, Kiai Bisri juga menjadi pengkritik paling tajam ketika Nasakom menjadi pahara politik. Diplomasi politik Kiai Bisri tidak hanya di ranah lokal, namun juga berpengaruh pada kebijakan politik nasional.

Jurus diplomasi politik Kiai Bisri layak dicontoh. Beliau tidak memisahkan politik dan agama, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, beliau tetap menggunakan etika dan fiqh sebagai referensi bersikap. Karena itu, tidak pernah dijumpai konflik antara Kiai Bisri dengan lawan-lawan politiknya. Aktifis NU pada zamannya, sangat menghormati Kiai Bisri, semisal KH. Idham Cholid, KH. Akhmad Syaichu, Subhan ZE dan beberapa kiai lain.

Kiai Bisri termasuk penulis (muallif) yang produktif. Karya-karyanya melimpah, dengan warna yang beragam. Sebagian besar, karyanya ditulis untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam. Karya-karya Kiai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Salah satu karya fenomenal adalah Tafsir al-Ibriz, yang ditulis dalam Jawa Pegon. Karya beliau lebih dari 30 judul, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham'an (Nuzul al-Qur'an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta'liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna', Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya', Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi'ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi'ir Pemilu, Zad az-Zu'ama wa Dzakirat al-Khutaba', Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.



Kiai Bisri Musthofa wafat pada usia 63 tahun, pada 16 Februari 1977. Ketika itu, warga Indonesia sedang menyongsong pemilu 1977 pada masa Orde Baru. Santri Nusantara membutuhkan sosok-sosok dengan kecerdasan lengkap dalam diri Kiai Bisri Musthofa. Alfaatihah.

Senin, 30 Juli 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Amplop Abu Abu



KH.MUSTOFA BISRI
*AMPLOP ABU ABU*
oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan.Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.
Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.
Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.
Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.
Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.
Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri.Tak membekas.
Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.
Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.
Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.
Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.
Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.
Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.
Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.
Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.
Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.
Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.
Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.
Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.
Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?
Darimana dia mendapat informasi?
Atau dia selalu membuntutiku?
Tidak mungkin. Musykil sekali.
Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.
Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.
Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.
“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.
“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”
“Coba kau bawa kemari semua!"
Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.
“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.
Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.
“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.
Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.
“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”
“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.
“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.
Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.
Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.
“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.
Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.
Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.
Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:
“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.
”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.
”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.
”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.
Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.
”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.
Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.
Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.
Ah.Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.
Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.
Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.
Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.
“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.
“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.
Malah semuanya masih saya simpan.”“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.
“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”
“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaian
ku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.
Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,
“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.
“Lihat kemari, Pak!”
Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.
Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.
Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya
Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.
Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.
Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.
”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”
Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.
Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.
SubhanAllah!
.







Senin, 23 Juli 2018

Alimnya K.H. Bisri Syansuri, Arifnya K.H. A. Wahab Chasbullah



KH. A. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri muda adalah teman mondok yg nyaris tak pernah akur. Mbah Wahab yg kuat dalam Ilmu Ushul terkesan longgar fikihnya, sedangkan Mbah Bisri yg kokoh dalam Ilmu Fiqih tampak ketat hukumnya. Dari Isya' sampai Shubuh ngotot-ngototan kedua santri itu sering tak usai.

Tapi lawan debat adalah kawan berjuang. Wahab muda tahu, Bisri muda yg ngeyelan ini kelak akan jadi mitra yg tangguh. Maka bagaimana cara mengikatnya?

"Sampeyan mau naik haji?" ujar Mbah Wahab suatu waktu.

"Ya jelas mau", sahut Mbah Bisri, "Tapi fikir-fikir dulu saya ini."

"Berangkat ya bareng aku. Tenang, insya Allah aku yg mbayari."

"Yang benar?"

"Iya."

Maka merekapun berjanji berangkat bersama dengan kapal dari Pelabuhan Surabaya. Di hari yg disepakati pada suatu Syawal, merekapun bertemu.

"Sepurane", ujar Mbah Wahab, "Sampeyan berangkat sendiri ya. Aku ada urusan lain yg tidak bisa ditinggal. Terus sekalian titip adikku ya. Ini Dek Khadijah juga mau naik haji."

"Wah", sahut Mbah Bisri.

"Kenapa?"

"Lha ajnabi itu. Masak dititipkan?"

"Ya sudah. Dihalalkan ya. Ini sudah kusiapkan maharnya, juga aku bawa saksinya. Kalian akad nikahan di sini saja sebelum berangkat. Wis bismillah, aku Walinya Dek Khadijah."

"Mati aku", gerutu Mbah Bisri menepok jidat. Dan pasangan Bisri-Khadijah pun menikah, menjadi keluarga berkah, penuh sakinah, diguyuri mawaddah, dianugerahi rahmah. Bahagia sekali Mbah Wahab punya adik ipar seperti Mbah Bisri, kelak merupakan mitra yg dahsyat membangun Nahdhatoel Oelama di sisi Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.

Lahum al-Fatihah.....