Jumat, 10 Agustus 2018

K.H. A. Mustofa Bisri : Tentang Santri



 BANYAK orang mengira, kiai besar seperti K.H A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ini pasti memiliki santri yang jumlahnya ribuan. Apa lagi dibandingkan dengan pesantren tertentu yang jumlah pendaftar setiap tahunnya saja sudah berjubel, apalagi ditambah dengan santri lama.
Belum lagi bila digabungkan antara santi putra dan putri. Jumlahnya bisa puluhan ribu. Namun gambaran pesantren yang besar dan modern dengan ribuan santri segera sirna begitu kita datang ke Desa Leteh, Rembang, lokasi pesantren Raudhatut Thalibin pimpinan Gus Mus. Pesantrennya relatif kecil dan santrinya tidak banyak. Aktivitas santri hanya mengaji dan mengaji.
Dari satu kitab ke kitab yang lain. Tidak ada sekolah formal, yang ada hanya madrasah pondok. Tak ada gapura penanda atau pagar keliling karena lokasi pesantren menyatu dengan rumah warga.
Orang yang baru mengenal Gus Mus lewat media sosial dan dari mulut ke mulut, tentu akan kaget melihat fakta ini. Anehnya, sekalipun kelewat sederhana, ada saja orang tua yang ''tega'' memondokkan anaknya di pesantren ini. Termasuk anak-anak yang tidak paham bahasa Jawa, seperti santri dari Madura, Jakarta, dan luar Jawa.
Ada yang lebih aneh lagi. Lazimnya, orang datang ke pesantren untuk menitipkan anak kepada kiai agar diterima dan dididik di pondok. Namun, orang yang satu ini tidak. Ia memondokkan mobilnya di pesantren. Ceritanya begini. Suatu hari, ada seseorang dari ibu kota datang ke rumah Gus Mus.
Setelah basa-basi sebentar, sang empunya mobil matur kepada Gus Mus, ''mobil ini saya serahkan kepada Gus Mus, dan ini kuncinya.'' Gus Mus kaget dan menggertak balik tanya: ''sampeyan ini siapa?, utusannya siapa? Mobil ini maksudnya untuk apa?'' Kebetulan waktu itu, menjelang Pilgub. Yang bersangkutan takut dan kaget dengan reaksi Gus Mus.
Gus Mus duko. Lalu ia jelaskan maksudnya. ''Mohon maaf Gus. Mohon jangan salah paham. Saya hanya ingin mondokkan mobil di pesantren ini. Ini mobil saya sendiri, biar nyantri di sini. Biar berkah. Kalau Gus Mus tidak percaya, ini saksinya.'' Sambil menunjuk Gus Sidqon (putra KH. Shodiq Hamzah).
Gus Sidqon mengangguk membenarkan maksud sebenarnya orang tersebut. Gus Mus tersenyum mendengar penjelasan orang tersebut. Baru kali ini, ada orang memondokkan mobil di pesantren. Akhirnya, mobil itu betul menjadi ''santrinya'' Gus Mus.
Melayani Gus Mus dan keluarga ke mana saja. Tahun lalu, mobil itu sudah diboyong oleh yang punya untuk ditukar dengan mobil lain yang lebih baik. Hari ini, 10 Agustus 74 tahun lalu, Gus Mus kecil lahir. Kiai, guru bangsa, dan budayawan, begitulah khalayak umum mengenalnya.
Cahaya ngaji dan spiritualitas berkesenian memengaruhi hati, pikiran, dan tindakan beliau. Gus Mus tidak hanya mengajar santri senior dengan kitab-kitab tebal. Santri kecil juga mengikuti pengajian beliau, dengan kitab arbain nawawiyyah.- (Abu Rokhmad Musaki- 23).
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/113523/gus-mus-dan-santri-istimewa