Minggu, 12 Agustus 2018

Salam Kepada Non Muslim

Merawat Toleransi (31)



Memberi Salam kepada Non-Muslim

Memberi Salam kepada Non-Muslim
Nasaruddin Umar/Net



HAL yang masih kontroversi di Indonesia ialah memberi salam kepada saudara-sau­daranya non-muslim. Di Mesir, Libanon, Syiria, Turki, dan beberapa negara mayoritas muslim lainnya hampir tidak ada lagi masalah. Umumnya orang-orang yang menolak memberi salam kepada orang-orang non-muslim bukan karena anti atau tidak senang terhadap kelompok non-muslim, tetapi demi untuk memelihara kesucian agama yang dianutnya, karena mereka tidak melihat ada dalil secara tegas membolehkannya. Sebaliknya kelompok lain tidak ragu memberi salam kepada non muslim karena yakin sejumlah ayat dan hadis mengisyaratkan kebolehan.

Kelompok yang membolehkan memberi atau menerima salam kepada atau dari non-muslim antara lain berdalil kepada sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, antara lain: Assalamu 'ala yauma wulidtu wa yauma amutu wa yauma yub’atsu hayyan (Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”/Q.S. Maryam/19:33). Dalam ayat lain dikatakan: Salamu 'ala Nuhin fi al-'alamin (Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam"/Q.S. al-Shaffat/37:79); salamun 'ala Ibraahim (Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". (Q.S. al-Shaffat/37:109); Salamu 'ala Musa wa Harun (Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun". (Q.S. al-Shaffat/37:120), Salamun 'ala Ilyasin (Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas". (Q.S. al-Shaffat/37:120), Wa salamun 'ala al-mursalin (Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul"/Q.S. al-Shaffat/37:181). Demikian pula kata-kata Nabi Ibrahim kepada ayahnya walaupun kita tahu ia belum seagama dengan Nabi Ibrahim: Qala salamun 'alaika saastagfiru laka rabbi (Ia mengatakan: Keselamatan atasmu/Q.S. Maryam19:47). Dari ayat-ayat tersebut dianggap cukup jelas mengisyaratkan kebolehan menerima atau memberi salam kepada non-muslim.

Menurut Ibn Wayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, jilid II hal 424 menyatakan, sebagian ulama mem­bolehkan mendahului non-muslim memberi salam demi kemaslahatan yang lebih baik atau karena khawatir terhadap perlakukan negatif dari mereka, atau karena adanya hubungan kekerabatan dengan mereka, atau karena ada sebab khusus. Imam Al-Qurtubi juga menyebutkan nama beberapa ulama salaf yang membolehkan memberi salam kepada non-muslim, seperti Ibnu Mas'ud, Hasan Al Basri, dan Umar Abdul Aziz. Ibnu Hajar Al-asqalani juga menyebut Abu Umamah dan Ibnu Uyainah mem­bolehkan salam kepada non-muslim.

Abu Umamah dikutip mengtakan: "Sesunguhnya Allah Swt menjadikan salam ini untuk sambutan (tahiyah) kepada kita dan keamanan kepada orang bukan Islam (zimmi). Sama dengan Profesor Dr Saadudin Hilali di dalam kitabnya, Huquq al-Insan dengan tegas membolehkan salam kepada non-muslim. Al Qaradawi juga mewacanakan persoalan ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fikh Jihad. Bahkan Al-Qaradawi menyatakan sejumlah ulama salaf berpendapat harus memberi salam kepada orang non-muslim dengan alasan ayat: Allah tidak melarang kamu kalian berbakti kepada mereka yang tidak memerangi dan tidak mengeluar­kan kamu kalian daripada rumah-rumah kamu (Q.S. al-Mumtahanan/:8). Di antara bentuk pelaksanaan kebaikan itu ialah memberi salam kepada mereka seperti halnya Nabi Ibrahim yang memberi salam kepada ayahnya yang non-muslim. "Selamatlah ke atas kamu, aku akan meminta ampun kepada Tuhanku untuk kamu". Maryam ayat47.

HAL yang masih kontroversi di Indonesia ialah memberi salam kepada saudara-sau­daranya non-muslim. Di Mesir, Libanon, Syiria, Turki, dan beberapa negara mayoritas muslim lainnya hampir tidak ada lagi masalah. Umumnya orang-orang yang menolak memberi salam kepada orang-orang non-muslim bukan karena anti atau tidak senang terhadap kelompok non-muslim, tetapi demi untuk memelihara kesucian agama yang dianutnya, karena mereka tidak melihat ada dalil secara tegas membolehkannya. Sebaliknya kelompok lain tidak ragu memberi salam kepada non muslim karena yakin sejumlah ayat dan hadis mengisyaratkan kebolehannya.



Kelompok yang membolehkan memberi atau menerima salam kepada atau dari non-muslim antara lain berdalil kepada sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, antara lain: Assalamu 'ala yauma wulidtu wa yauma amutu wa yauma yub’atsu hayyan (Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”/Q.S. Maryam/19:33). Dalam ayat lain dikatakan: Salamu 'ala Nuhin fi al-'alamin (Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam"/Q.S. al-Shaffat/37:79); salamun 'ala Ibraahim (Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". (Q.S. al-Shaffat/37:109); Salamu 'ala Musa wa Harun (Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun". (Q.S. al-Shaffat/37:120), Salamun 'ala Ilyasin (Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas". (Q.S. al-Shaffat/37:120), Wa salamun 'ala al-mursalin (Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul"/Q.S. al-Shaffat/37:181). Demikian pula kata-kata Nabi Ibrahim kepada ayahnya walaupun kita tahu ia belum seagama dengan Nabi Ibrahim: Qala salamun 'alaika saastagfiru laka rabbi (Ia mengatakan: Keselamatan atasmu/Q.S. Maryam19:47). Dari ayat-ayat tersebut dianggap cukup jelas mengisyaratkan kebolehan menerima atau memberi salam kepada non-muslim.

Menurut Ibn Wayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, jilid II hal 424 menyatakan, sebagian ulama mem­bolehkan mendahului non-muslim memberi salam demi kemaslahatan yang lebih baik atau karena khawatir terhadap perlakukan negatif dari mereka, atau karena adanya hubungan kekerabatan dengan mereka, atau karena ada sebab khusus. Imam Al-Qurtubi juga menyebutkan nama beberapa ulama salaf yang membolehkan memberi salam kepada non-muslim, seperti Ibnu Mas'ud, Hasan Al Basri, dan Umar Abdul Aziz. Ibnu Hajar Al-asqalani juga menyebut Abu Umamah dan Ibnu Uyainah mem­bolehkan salam kepada non-muslim.

Abu Umamah dikutip mengtakan: "Sesunguhnya Allah Swt menjadikan salam ini untuk sambutan (tahiyah) kepada kita dan keamanan kepada orang bukan Islam (zimmi). Sama dengan Profesor Dr Saadudin Hilali di dalam kitabnya, Huquq al-Insan dengan tegas membolehkan salam kepada non-muslim. Al Qaradawi juga mewacanakan persoalan ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fikh Jihad. Bahkan Al-Qaradawi menyatakan sejumlah ulama salaf berpendapat harus memberi salam kepada orang non-muslim dengan alasan ayat: Allah tidak melarang kamu kalian berbakti kepada mereka yang tidak memerangi dan tidak mengeluar­kan kamu kalian daripada rumah-rumah kamu (Q.S. al-Mumtahanan/:8). Di antara bentuk pelaksanaan kebaikan itu ialah memberi salam kepada mereka seperti halnya Nabi Ibrahim yang memberi salam kepada ayahnya yang non-muslim. "Selamatlah ke atas kamu, aku akan meminta ampun kepada Tuhanku untuk kamu". Maryam ayat47.

Sejalan dengan sikap Nabi Ibrahim juga dii­syaratkan di dalam ayat lain: Dan (Dialah Tuhan yang Mengetahui rayuan Nabi Muhammad) yang berkata: "Wahai Tuhanku! Sesungguhnya mereka ini adalah satu kaum yang tidak mau beriman (maka terserahlah kepadaMu untuk mengadilinya)!" (Tuhan menjawab rayuannya dengan berfirman): "Jika demikian, maka janganlah engkau (wahai Muhammad) hiraukan mereka, dan katakanlah: 'Selamat tingallah!' Kemudian mereka akan mengetahui kelak (akibat keingkarannya)," (Q.S. al-Zukhruf:88-89).


https://www.rmol.co/read/2016/12/26/273937/Memberi-Salam-kepada-Non-Muslim-