Unik, Pengajian di Masjid Thailand Ini Gunakan Bahasa Jawa
Ketua Delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis ke Negara-negara ASEAN mengatakan, Masjid Jawa (Jawa Mosque) menjadi sarana syiar Islam bagi Muslim di Bangkok Thailand.
“Masjid itu (Masjid Jawa) terus berfungsi sebagai sarana keagamaan dan pendidikan,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Jumat (11/5), usai mengunjungi masjid tersebut.
Ketua Komisi Dakwah MUI ini menerangkan, Masjid Jawa memiliki madrasah dengan jumlah siswa mencapai 200-an orang. Di masjid ini, pengajian Al-Qur’an digelar penuh selama satu pekan; Senin hingga Jumat untuk anak-anak dan hari Ahad untuk dewasa.
Masjid Jawa ini terletak di Sathorn Bangkok, Thailand tepatnya di Jalan Soi Charoen Rat 1 Yaek 9. Kawasan sekitar masjid dikenal dengan Soi Charoen Rat. Daerah ini merupakan kawasan yang dihuni banyak masyarakat Melayu dan keturunan dari perantauan orang Jawa.
Seorang Nahdliyin Zuhrah (putri H Muhammad Saleh, pendiri Masjid Jawa) dan Ma’rifah (cucu Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah) merupakan keturunan Jawa yang tinggal di sekitar masjid.
“Saat berkunjung ke Masjid Jawa, saya sempat berbincang-bincang dengan Ibu Ma’rifah dan Ibu Zuhrah,” ucapnya.
Pengajian bahasa Jawa dan Indonesia
Mengutip apa yang disampaikan Ma’rifah, Kiai Cholil menceritakan bahwa bahasa Indonesia diajarkan secara rutin di Madrasah Masjid Jawa. Tujuannya tidak lain adalah untuk terus memelihara rasa cinta terhadap Indonesia.
“Pengantar bahasa pembelajaran acap kali campur-campur antara bahasa Thailand, Indonesia, dan Jawa,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Kiai Cholil, pengajian-pengajian yang diselenggarakan di Masjid Jawa juga banyak menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa, di samping bahasa Thailand.
“Tradisi khas Nusantara seperti beduk, pengajian, dan shalawatan bahkan juga tahlilan juga ada di Masjid Jawa ini. Terlihat suasana masyarakat sekitar masjid seperti budaya Jawa,” jelasnya.
Masjid Jawa didirikan di atas tanah Muhammad Saleh, seorang perantauan asal Rembang Jawa Tengah, pada 1906. Mulanya tanah tersebut merupakan tempat pengajian dan yasinan, lalu kemudian diwakafkan menjadi masjid dan tempat pendidikan.
Masjid ini berarsitektur Jawa dengan warna bangunan hijau muda dan atap limasan berundak tiga. Jika dilihat sepintas seperti Masjid Agung Kauman di Yogyakarta dalam ukuran mini.
Bangunan utama masjid berbentuk segi empat dengan ukuran 12 x 12 meter dan dilengkapi dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyangga. Selain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu.
Di luar bangunan utama, terdapat serambi dengan empat pintu yang terbuat dari jeruji besi. Di bagian depan (mihrab), terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tangga. Di kanan dan kirinya terdapat dua buah jam lonceng, juga terbuat dari kayu.
Ada dua bangunan utama yaitu masjid dan madrasah berbentuk rumah panggung dengan aneka jejerankursi dan meja di kolong rumah. Sementara di seberang masjid ada tempat pemakaman Islam. Di samping kiri masjid terdapat prasasti peresmian masjid berbahasa Thailand.
“Interior masjid sungguh membuat saya merasa sedang berada di sebuah masjid tua di Jawa,” cerita Kiai Cholil. (Muchlishon/NU Online)
Amien Rais Sebut Indonesia Bangsa ‘Pekok’
Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais kembali menyoroti masalah undang-undang di Indonesia yang dianggap pro asing itu merugikan rakyat. Salah satunya adalah UU migas. Oleh karena itu, ia menyebutkan bangsa Indonesia adalah bangsa pekok (bodoh). Apa alasannya?
“Ini ada UU yang aneh dan ajaib. Bahwa gas alam di perut bumi Indonesia, itu boleh digunakan oleh bangsa sendiri setelah bangsa lain dicukupi kebutuhannya,” kata Amien saat mengisi ceramah di Masjid Muthohirin Yogyakarta, Kamis (10/5/2018) malam.
Menurutnya, kebijakan tersebut aneh. Sebab, kebutuhan dalam negeri dikorbankan hanya demi memenuhi kebutuhan negara lain, seperti Tiongkok, Taiwan, dan Singapura.
“Ini mesti bangsa pekok (bodoh),” sindirnya.
Akibat kebijakan tersebut, lanjut Amien, Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Aceh berhenti beroperasi karena tidak mendapatkan suplai bahan bakar penggerak mesin. Padahal di dekatnya terdapat tambang gas alam.
“Ini sebuah keanehan yang tidak masuk akal. Itu (gas alam) berkontainer-berkontainer dibawa oleh truk dari koorporasi gas, sebelum dibawa ke China itu melewati (Pabrik) Pupuk Iskandar Muda,” ungkapnya.
“Jadi pabrik pupuk di Aceh itu kelenger, tidak bisa berfungsi karena gasnya yang hanya beberapa puluh kilometer dari (pabrik pupuk) itu dijual dulu ke China,” lanjutnya.
Selain UU migas, kata Amien, kasus Freeport menjadi contoh lainnya dari kebodohan bangsa Indonesia. Sebab, hasil tambang emas terbesar di dunia tersebut hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati bangsa ini.
“Kita ini, karena bangsa jongos membuat sebuah kesepakatan kontrak karya itu,” ungkapnya.
“Tidak ada bangsa yang lebih pekok dari pada bangsa kita,” tandasnya.
Amien juga meminta umat Islam di Indonesia lebih berpartisipasi dalam perpolitikan nasional. Harapannya umat Islam di indonesia tidak terus tertinggal, baik dari segi ekonomi, politik dan segi lainnya.
“Umat Islam di Indonesia ini (88,5 persen dari jumlah penduduk), itu perlu punya partisipasi, punya hak menentukan negeri ini di dalam kekuasaan politik,” kata Amien.
Ia mengatakan, kini mayoritas umat Islam di Indonesia hanya bisa menjadi penonton. Penggerak ekonomi, pemegang kendali kekuasaan elit politik jarang dipegang kalangan umat Islam. Akibatnya, umat Islam di Indonesia semakin terpinggirkan.
“Sekarang ini jelas sekali umat Islam itu menjadi umat yang marginal, di pinggiran. Karena hampir semua kehidupan nasional tidak ada di tangan umat Islam. Pertambangan di tangan mereka, pertanian di tangan mereka, perkebunan mereka,” sebutnya.
Amien tidak menyebutkan siapa mereka yang dimaksudnya. Namun, sekali lagi dia mengingatkan agar umat Islam di Indonesia lebih berpartisipasi di kancah politik. Dengan harapan umat Islam bisa ikut andil dalam menentukan arah pembangunan.
Selanjutnya, Amien menerangkan, ajakannya agar umat Islam di Indonesia lebih berpartisipasi dalam berpolitik bukan berarti dia mendukung ditegakkannya sistem pemerintahan berdasarkan syariat Islam di indonesia.
“Jadi, saya, kita Muhammadiyah itu memang tidak ada, seperti NU juga, tidak ada pikiran membangun negeri Indonesia ini menjadi negara syariah, ini tidak. Saya juga menolak,” tegasnya.
“Karena kalau kita bicara negara syariah, langsung TNI, Polri dan kaum nasionalis macam-macam itu yang akan masang kuda-kuda. Oleh sebab itu, opsi ini (membangun negara syariah) tidak kita ambil,” pungkas Amien.
–
Sumber: Detik.com
Related Posts
Browse by Category
- Abdul Somad
- Afghanistan
- Amien Rais
- Arab Saudi
- Banser
- Berita
- Female
- Grand Syaikh Al-Azhar
- Gus Dur
- Gus Mus
- Gus Muwafiq
- Habaib
- Habib Luthfi
- Habib Umar Bin Hafidz
- Hikmah
- Hizbut Tahrir
- Hujjah Aswaja
- Indonesia
- Internasional
- Islam Nusantara
- Kajian Islam
- Kalam Ulama
- KH Ma'ruf Amin
- KH Maimoen Zubair
- KH Said Aqil Siradj
- Khazanah
- Khilafah
- Kopi
- Liboyo
- Majelis Ulama Indonesia (MUI)
- Makam
- Nabi Muhammad SAW
- Nahdlatul Ulama
- PBNU
- PBNU
- Pesantren
- PKI
- Politik
- Politisasi Masjid
- Prabowo
- Presiden Jokowi
- Radikalisme
- Ramadhan
- Renungan
- Rokok
- Rumah Tangga
- Sidogiri
- Sugi Nur Raharja
- Suriah
- Ulama
- Uncategorized
- Wahabi
- Wali Songo
- Waliyullah
- Wirid Dan Do'a
Recent News
© 2018 News Baldatuna - Berita Islam Indonesia Terkini byBaldatuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Kita Ajak Masyarakat Untuk Menuju Ridlo Allah Subhaanahu Wata'aalaa
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.